Dalam sebuah rapat yang ceria di kantor pemerintahan, seorang pejabat tinggi dengan bangga mengumumkan keputusan baru mengenai Hak Guna Usaha (HGU) di Ibu Kota Negara (IKN) yang baru. “Kita akan memberikan HGU selama 190 tahun!” serunya dengan penuh semangat, seakan-akan ia baru saja menemukan solusi ajaib untuk segala permasalahan tanah di negeri ini.
Seorang wartawan yang duduk di sudut ruangan, merenung sejenak. “190 tahun? Generasi mana yang akan menikmati manfaat dari kebijakan ini?” pikirnya sambil mencatat dengan raut wajah skeptis. Ia segera membayangkan beberapa skenario yang mungkin terjadi.
Mari kita hitung-hitung. Misalkan satu generasi adalah 25 tahun. Dalam 190 tahun, berarti ada sekitar 7,6 generasi. Jadi, kita sedang berbicara tentang anak cucu kita, anak cucu mereka, dan seterusnya hingga hampir delapan generasi ke depan. Pada saat itu, mungkin cucu-cucu kita akan menatap ke langit dan bertanya-tanya apa yang dipikirkan leluhur mereka ketika menetapkan kebijakan ini.
Namun, mari kita realistis. Apa yang mungkin terjadi dalam 190 tahun? Mungkin pada saat itu, Jakarta sudah menjadi legenda urban yang diceritakan di buku sejarah, dan IKN yang baru ini bisa jadi sudah mengalami berbagai perubahan signifikan. Bahkan, mungkin saja ibu kota sudah pindah lagi ke tempat lain yang lebih menjanjikan.
Tentu saja, dalam jangka waktu yang begitu panjang, banyak hal yang bisa berubah. Mungkin fasilitas-fasilitas yang dibangun dengan HGU 190 tahun akan berubah fungsi, rusak, atau bahkan diabaikan. Bayangkan, berapa banyak administrasi dan kepemimpinan yang akan berganti dalam kurun waktu itu? Apakah setiap generasi penerus akan tetap mengawasi dan menjaga fasilitas-fasilitas ini dengan sepenuh hati? Atau, akankah mereka lebih sibuk dengan masalah baru yang muncul di masa depan?
Ada juga risiko bahwa kebijakan ini bisa disalahgunakan. Dengan jangka waktu yang begitu panjang, siapa yang bisa menjamin bahwa fasilitas ini tidak akan jatuh ke tangan yang tidak bertanggung jawab? Mungkin akan ada masa di mana tanah-tanah ini dijual, disewakan, atau dibiarkan terbengkalai karena kurangnya pengawasan.
Sambil mengakhiri catatannya, wartawan itu merenung. Ia membayangkan cucunya, dan cucu dari cucunya, mungkin bertanya-tanya tentang keputusan yang diambil oleh generasi sebelumnya. Mereka mungkin akan mengeluh tentang fasilitas yang tidak lagi relevan dengan kebutuhan zaman mereka atau mungkin menghadapi masalah baru yang sama sekali tidak kita duga hari ini.
Tentu saja, kebijakan HGU 190 tahun ini mungkin dibuat dengan niat baik, tetapi seperti pepatah lama, “Jalan menuju neraka penuh dengan niat baik.” Kita hanya bisa berharap bahwa keputusan ini akan membawa manfaat yang berkelanjutan dan tidak menjadi beban bagi generasi yang akan datang. Atau setidaknya, kita berharap bahwa mereka akan melihat kebijakan ini dan tertawa, sambil berkata, “Leluhur kita memang punya selera humor yang aneh.”