By : Ali Syarief
Fenomena di mana pemimpin politik menggantikan posisi mereka dengan anggota keluarga, seperti yang terjadi dengan Jokowi dan Gibran serta SBY dan Agus Harimukti, sesungguhnya mencerminkan praktik dinasti politik. Ini adalah bentuk yang merugikan dari nepotisme politik di mana kepentingan pribadi atau keluarga ditempatkan di atas kepentingan publik.
Praktik seperti ini menunjukkan bahwa posisi politik diwariskan sebagai suatu hak turun-temurun, bukan didasarkan pada kualifikasi atau prestasi individu. Ini melanggengkan kekuasaan dalam lingkaran keluarga tertentu dan menghalangi kemajuan demokrasi yang seharusnya didasarkan pada meritokrasi dan partisipasi warga negara yang adil. Dalam konteks ini, dinasti politik tidak hanya merugikan karena mengekang persaingan yang sehat dan pluralisme politik, tetapi juga merusak integritas dan legitimasi institusi demokratis.
Kritik tajam terhadap fenomena ini perlu dilakukan untuk menyoroti ketidakadilan dan ketidaksetaraan yang terjadi akibat praktik nepotisme politik ini. Hal ini penting agar masyarakat bisa memahami dampak negatifnya terhadap sistem politik dan mendorong adopsi prinsip-prinsip demokratis yang lebih sehat dan inklusif.
Kedua calon yang didorong oleh kedua orang tua mereka untuk menduduki jabatan tertinggi di republik ini menimbulkan beberapa kekhawatiran yang perlu dipertimbangkan secara serius.
Pertama-tama, penunjukkan mereka ke posisi tersebut dapat dipandang sebagai bentuk nepotisme politik, di mana kekuasaan dan kendali negara tampaknya diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya dalam sebuah keluarga. Ini dapat mengganggu prinsip meritokrasi, di mana seseorang harus dipilih berdasarkan kemampuan, kinerja, dan kualifikasi, bukan hubungan keluarga.
Kedua, jika terpilih, mereka mungkin dianggap sebagai pemimpin yang kurang independen dan lebih cenderung untuk mengikuti kebijakan dan agenda politik orang tua mereka. Hal ini dapat mengurangi kemampuan mereka untuk membuat keputusan yang berpihak kepada kepentingan rakyat secara objektif, karena mereka mungkin lebih mempertimbangkan kepentingan keluarga atau partai politik yang mendukung mereka.
Ketiga, penunjukkan mereka ke posisi tersebut juga dapat menciptakan ketidakpuasan dan ketegangan di antara masyarakat yang percaya pada prinsip kesetaraan dan kesempatan yang adil. Hal ini dapat memperkuat sentimen anti-elitisme dan anti-establishment, yang dapat merusak legitimasi dan stabilitas pemerintahan.
Keempat, terlepas dari kemampuan dan kualifikasi pribadi mereka, keterlibatan mereka dalam politik berisiko menciptakan konflik kepentingan yang serius. Mereka mungkin mendapatkan akses ke sumber daya dan kekuasaan yang tidak adil, dan kemungkinan memanfaatkannya untuk keuntungan pribadi atau keluarga, yang dapat merugikan kepentingan publik secara keseluruhan.
Kelima, hal ini juga dapat membentuk pola perilaku yang tidak sehat dalam politik Indonesia, di mana kekuasaan dan pengaruh dipegang oleh segelintir keluarga politik yang berkuasa, daripada oleh pemimpin yang dipilih berdasarkan kompetensi dan visi kepemimpinan yang jelas.
Secara keseluruhan, penunjukkan kedua calon ini ke jabatan tertinggi di negara ini dapat memiliki konsekuensi yang merugikan bagi tatanan demokrasi, transparansi, dan akuntabilitas pemerintahan. Hal ini menimbulkan risiko bagi kestabilan politik dan kemajuan demokratisasi Indonesia.