Di banyak negara, tempat ibadah tak lagi sesak oleh suara-suara muda. Barisan bangku kosong di gereja, kuil, atau vihara menjadi potret yang semakin umum. Ini bukan sekadar anekdot atau kecemasan para pemuka agama. Ini adalah data—data yang menyuarakan kenyataan baru: generasi muda, terutama Gen-Z dan milenial, tengah menjauh dari agama, bahkan melepaskannya sepenuhnya.
Laporan Pew Research Center terbaru, yang mengambil data dari 36 negara dan hampir 80.000 responden, mengungkapkan gelombang global yang pelan tapi pasti: fenomena perpindahan agama, atau bahkan penolakan atas agama itu sendiri. Mereka yang dulunya dibesarkan dalam tradisi Kristen atau Buddha, kini mengidentifikasi diri sebagai ateis, agnostik, atau tidak beragama sama sekali. Yang menarik, banyak dari mereka justru berasal dari keluarga yang sangat religius. Agama, dalam konteks ini, justru ditinggalkan bukan karena kurang dikenalkan, melainkan karena terlalu dipaksakan.
Fenomena ini paling kentara di Korea Selatan, di mana 50% orang dewasa kini tidak lagi memeluk agama masa kecilnya. Negara-negara Barat pun mengalami tren serupa: Spanyol (40%), Kanada (38%), hingga Belanda dan Inggris (masing-masing 36%). Di Amerika Serikat, 28% orang dewasa telah berpindah agama—sebagian besar menjadi non-afiliatif secara spiritual.
Generasi muda menjadi garda terdepan dalam pergeseran ini. Di Spanyol, hampir separuh anak muda usia 18–34 tahun telah meninggalkan agama yang diwariskan. Di Singapura, jumlahnya mencapai 29%. Tren ini menunjukkan bahwa sekularisasi bukan lagi wacana pinggiran, melainkan arus utama yang mengalir deras, meruntuhkan batas antara tradisi dan pilihan bebas.
Apa yang mendorong anak muda meninggalkan agama?
Jawabannya kompleks. Bagi sebagian, agama tak lagi relevan dalam dunia yang serba rasional dan digital. Bagi yang lain, institusi agama dianggap gagal menjawab problematika kontemporer—mulai dari isu kesetaraan gender, hak LGBTQ+, hingga skandal moral para pemimpin agama. Sebagian lainnya memilih keluar dari doktrin yang mereka anggap rigid, eksklusif, dan memecah belah. Dalam dunia yang menawarkan ribuan perspektif lewat satu layar smartphone, absolutisme religius terasa menyesakkan.
Di tengah derasnya informasi, banyak anak muda menemukan spiritualitas di luar pagar institusi. Mereka memilih menjadi agnostik—meyakini adanya kekuatan lebih besar, tapi enggan tunduk pada dogma. Sementara yang lain menapaki jalan sunyi ateisme, menolak gagasan Tuhan sama sekali. Keputusan yang mungkin dianggap radikal oleh generasi sebelumnya, kini menjadi bentuk keberanian personal: untuk berpikir, memilih, dan meyakini dengan sadar, bukan karena warisan.
Namun, tidak semua berpaling dari agama. Pew juga mencatat bahwa di Korea Selatan, misalnya, 9% orang dewasa yang tidak beragama saat kecil kini justru memeluk agama, sebagian besar menjadi Kristen. Di beberapa negara seperti Afrika Selatan dan Singapura, terdapat juga yang berpindah antara dua agama—mencoba menemukan makna spiritual lewat pencarian aktif, bukan ketundukan pasif.
Tren ini membuka ruang refleksi besar, terutama bagi institusi keagamaan: apakah mereka masih relevan bagi generasi masa kini? Mampukah agama menjadi ruang dialog, bukan sekadar tempat dakwah satu arah? Bila tidak, maka keheningan bangku-bangku rumah ibadah akan makin sering terdengar, digantikan oleh perenungan pribadi di ruang-ruang digital yang sunyi.
Agama, sebagaimana budaya lain, kini bukan lagi takdir, melainkan pilihan. Dan pilihan itu, bagi generasi muda, semakin sering berarti: tidak beragama.