Apakah Rasulullah Saw. ketika menikah dengan Siti Khadijah menggunakan rukun nikah seperti yang kita kenal hari ini?
Tentu saja. Tapi pertanyaan ini membawa kita lebih jauh dari sekadar seremonial. Ia menggiring kita menyelami perbedaan antara hukum dan makna, antara sah menurut manusia dan sah menurut Tuhan.
Rukun nikah dalam syariah Islam—wali, saksi, mahar, ijab dan kabul—diambil dari struktur sosial bangsa Arab pada abad ke-7. Para ulama fikih kemudian membingkainya menjadi perangkat hukum yang mapan. Ia menjadi dasar legalitas pernikahan dalam Islam. Tetapi di balik semua itu, kita lupa: ini semua adalah produk budaya, institusi sosial yang dilembagakan demi keteraturan komunitas. Bukan tolok ukur spiritualitas.
Pernikahan, pada akhirnya, bukan sekadar legalitas. Ia adalah kesanggupan dua jiwa untuk saling membersamai. Dan dalam konteks ini, cinta bukan pelengkap, melainkan ruh. Ia rukun yang tak tertulis—tapi tanpanya, ijab kabul pun hampa. Sah, ya. Tapi kering. Hidup tanpa arah. Rumah tangga menjelma seperti kontrak kerja: formal, sah, tapi beku.
Saya menyaksikan sendiri bagaimana begitu banyak pernikahan yang sah secara hukum, namun bubar sebelum ulang tahun pertama. Sebaliknya, saya melihat pasangan yang menikah diam-diam, hidup sederhana, tapi puluhan tahun tak pernah goyah. Mereka tak punya foto resepsi, tapi punya album kenangan yang tak lekang. Mereka mungkin tak hafal redaksi akad nikah dengan lengkap, tapi hafal bagaimana saling memahami di saat marah, saling merawat di tengah derita.
Banyak ulama fikih membahas hukum menikah, tapi sedikit yang membahas hakikat mencinta. Mereka bicara batas aurat, jenis mahar, status wali, tapi jarang bicara tentang keutuhan batin, tentang resonansi dua hati. Mereka mengagungkan sah dan batal, tapi lupa bahwa Tuhan tak hanya menatap ijab kabul—Tuhan menatap ketulusan jiwa.
Saya tidak menolak fikih. Saya hanya tidak ingin berhenti di sana. Sebab Tuhan bukan petugas pencatat sipil. Ia tak akan menghalalkan sesuatu hanya karena prosedur duniawi telah terpenuhi. Ia akan bertanya lebih dalam: adakah cinta di sana? Adakah saling menumbuhkan, bukan saling menguasai? Adakah keikhlasan, bukan keterpaksaan?
Pernikahan, dalam makna yang paling luhur, adalah kesediaan untuk saling menyembuhkan luka yang bahkan belum terlihat. Ia adalah ibadah panjang, tempat dua insan belajar menjadi manusia seutuhnya. Dan cinta adalah bahan bakarnya. Tanpa cinta, ijab kabul tak lebih dari kontrak sosial yang mudah putus bila ekspektasi tak terpenuhi.
Saya tahu, banyak ulama akan tidak setuju. Tapi biarkan saya berbeda pendapat. Karena saya yakin: Tuhan lebih peduli pada cinta yang jujur daripada pernikahan yang sah tapi tanpa ruh. Saya ingin menikah di hadapan-Nya, bukan hanya di hadapan manusia.
Dan cinta, mohon dicatat, belum masuk kitab fikih.
Komtemplasi Ali Syarief