Suatu malam di Istana Bogor, Jokowi terlihat duduk sendirian di beranda, merenung. Tiba-tiba, terdengar suara yang seolah-olah berbicara dari dalam dirinya.
**Suara Hati:** “Hey Jokowi, kamu harus berhenti cawe-cawe. Pesan menohok dari MK kemarin sudah jelas. Mereka bilang cukup.”
*Jokowi menghela napas panjang, matanya menatap kosong ke depan.*
**Jokowi:** “Apa yang salah dengan semua ini? Semua sudah direncanakan dengan matang, tapi… tiba-tiba semua buyar. Koalisi 12 yang kita bangun, kini terancam.”
**Suara Hati:** “Tidakkah kau sadari? Keputusan MK ini bukan hanya tentang satu pasal atau dua pasal. Ini tentang peta politik yang kau coba kendalikan. Tapi sekarang, roadmap Pilkada 2024 yang kau harapkan menjadi tameng, tidak lagi strategis. Bahkan lebih dari itu, semua tampak rapuh dan lemah.”
*Jokowi menundukkan kepala, mengusap wajahnya dengan kedua tangan.*
**Jokowi:** “Aku tahu. Tidurku tak pernah nyenyak lagi sejak putusan itu. Bayangan tentang masa depan, tentang apa yang akan terjadi setelah lengser nanti, terus menghantui. Bagaimana jika semua yang telah aku siapkan gagal melindungi diriku?”
**Suara Hati:** “Itu yang paling menakutkan, bukan? Semua ikhtiar, segala upaya untuk memastikan kau aman setelah kekuasaan berakhir, kini terancam kandas. MK telah menghancurkan rencanamu, satu demi satu.”
*Jokowi terdiam lama, pandangannya kosong seolah mencari jawaban dalam kegelapan malam.*
**Jokowi:** “Lalu, apa yang harus aku lakukan sekarang? Bagaimana aku bisa melindungi diriku, keluargaku, dan warisanku di panggung politik ini?”
**Suara Hati:** “Mungkin, ini saatnya kau mempertimbangkan langkah-langkah lain, yang lebih bijaksana, yang lebih mengutamakan kepentingan bangsa daripada diri sendiri. Karena jalan yang kau pilih sebelumnya, kini tak lagi bisa diandalkan.”
*Jokowi mengangguk pelan, lalu berdiri dan melangkah kembali ke dalam istana, memikirkan langkah berikutnya di tengah goncangan politik yang sedang terjadi.*