Oleh : Ali Syarief
Kelemahan Jepang dan Indonesia. Jepang kekurangan tenaga kerja, Indonesia melimpah ruah, tetapi kurang lapangan kerja. Terjadilah migrasi tenaga kerja dari Indonesia ke Jepang. Lalu timbul berbagai masalah. Dengan lantang dan memukau, Eggi Emilia memaparkan solusinya, membuat para guru besar penguji promovendus terkesima. Hasilnya? Eggi Emilia dinyatakan lulus dengan predikat Cum Laude, juli 11, 2024, SKSG UI Salemba, Jakarta.
Apa yang menarik menyimak Sidang Terbuka DR. Eggi Emilia tersebut? Kekaguman para penguji, peserta undangan yang hadir (saudara-saudaranya, sahabat-sahabatnya, dan teman-karibnya) adalah bahwa Eggi bukan mahasiswa yang muda lagi. Ia mungkin, bahkan yang tertua.
Semangat studinya luar biasa. Pak HR. Bambang Tutuko, PhD, suaminya, mengatakan, “Aduuh Pak Ali, tidaklah mudah mendukung Eggy untuk kuliah lagi. Saya harus selalu memantau setiap saat karena harus menjaga faktor kesehatannya,” tukasnya.
Ibu Kobayashi, 72 tahun, warga negara Jepang dan sahabatnya di Lion Club, yang sempat saya wawancarai secara khusus, mengatakan, “Lygia San, bukan sekadar pandai, tapi ia juga bernyanyi, berdansa, dan memiliki banyak teman. Pandai bergaul.” Kekagumannya disampaikan secara khusus dengan kehadirannya pada sidang terbuka tersebut, mengenakan pakaian kimono.
Sekilas Tentang Disertasinya
30 tahun progran ginoujissu telah berlasung, harapan pertama indonesia ingin menjadikan mantan pemagangan menjadi skill worker. Mereka datang dari 38 proinsi yang tersebar di wilayah indonesia. Kebijakan pun berganti, pemerintah berharap mantan pemagangan ini menjadi wirausahawan handal. Namun berjalannya waktu sejak tahun 1993 sampai penelitian ini selesai 023 tidak pernah ada perubahan dalam TITP. Setiap perbaikan yang dilakukan terhadap kebijakan akan berdampak besar pada pemerintah dan masyarakat secara keseluruhan. Ide-ide yang disajikan dalamdisertasi ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi perbaikan kebijakan program pemagangan ke Jepang. Khususnya perubahan pada TITIP. dengan fokus utama pada upaya peningkatan Kompetensi dan kemampuan bersaing peserta.
Apresiasi promovendus Eggi pada mereka yang sangat berjasa untuknya, bahwa Disertasinya, tentu tidak akan rampung tanpa dukungan berharga dari berbagai individu. Karena itu, saya mengucapkan penghargaan yang tulus kepada tim pembimbing: Prof. Dr. I Ketut Surajaya, S.S., M.A., Dr. Kurniawaty, S.Sos., M.A., selaku Promotor, koPromotor atas bimbingan, kesabaran, dan kebijaksanaan yang diberikan kepada saya sepanjang perjalanan menyelesaikan disertasi ini.
Tonton Videonya : https://www.youtube.com/watch?v=h7d-SEfFzpI&t=20s
Siapa Ligia Emila?
Di Kelok 44 Bukittinggi, lahir seorang bidadari, Ligia Emilia namanya, cemerlang dalam semesta yang riuh. Di antara gejolak zaman, ia tumbuh dengan semangat. Cerita hidupnya melintasi tantangan dan keajaiban. Ayahnya seorang camat bijaksana, pandai dalam bahasa. Pesan tentang China dan dunia, ia sampaikan pada adik-adiknya. Ibunya, cantik jelita, rebutan pemuda di zamannya, mengayuh sepeda ontel menuju bioskop, hati gelisah menyambut sang bayi. Di rumah Navis, pujangga terkenal, Ligia lahir dalam keajaiban. Bunda bidan menyambutnya, membawa harapan dalam kegelapan. Meski lumpuh sejenak, semangatnya tak pernah luntur, Eggy kecil, terlahir untuk menaklukkan dunia dengan ilmu.
Meniti jalan Sastra Jepang, di UI dia menemukan panggilan. Mengajar bahasa dan budaya, melintasi batas-batas zaman. Serangan penyakit tak menghentikannya, jantungnya tetap berkobar. Lygia, sang pejuang, menulis kisah kehidupan dengan pena emas.
Pada hari ulang tahun ke-67, stroke datang menyapanya. Namun semangatnya terus berkobar, tak terpadam oleh waktu. Dia berdoa pada Tuhan, untuk melihat cucu-cucunya tumbuh. Bersama suaminya, dalam kasih dan ilmu, dia menemukan makna sejati.
Ligia Emilia, bidadari Bukittinggi, dengan hati yang penuh cinta. Puisi hidupnya mengalir dalam alunan waktu yang tak terhenti. Dia adalah teladan tentang tekad dan semangat yang abadi, mengajar kita bahwa cinta akan ilmu membawa kita ke puncak kehidupan.