OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA
Dulang, pane, atau talam adalah nampan berbentuk lingkaran yang permukaannya datar dan biasanya berbibir pada tepinya. Dulang dapat dibuat dari kayu atau kuningan. Sedangkan kata ‘tinande’ asal katanya dari ‘tande’ mendapat infiks atau sisipan –in, yang artinya menampung atau menunggu. Dulang Tinande menggambarkan sikap ikhlas dalam menerima sesuatu yang positip.
Dalam falsafah Sunda, wanita yang sudah menikah dikenal dengan “dulang tinande.” Diterjemahkan secara umum, memiliki arti “lumpang besar yang selalu menerima”. Dalam artian, apa yang suami dapat, dan apa yang dialami oleh suami harus menerimanya dengan ikhlas. Namun begitu, walaupun awewe Sunda disebut dulang tinande, bukan berarti suaminya bisa seenak jidat memperlakukan isterinya.
Keikhlasan seorang isteri atas apa-apa yang diberikan sang suami, tentu harus ditebus oleh perilaku suami yang memelihara dan menjaga keharmonisan sebuah rumah tangga. Atau bisa juga dikatakan, sekalipun banyak harta benda, emas berlian yang diberikan kepada sang i twri, tapi nilai dan keutuhan rumah tangga, bisa saja jadi amburadul, jika suaminya selingkuh dengan seorang hostes di sebuah klab malam misalnya.
Sebagai nilai kehidupan, sikap dulang tinande, masih sering kita jumpai dalam kehidupan sebuah rumah tangga. Dulang tinande seorang isteri, dalam suasana kekinian, banyak yang sudah mengalami pergeseran. Hal ini terjadi, karena dengan semakin berkembangnya teknologi dan informasi, tidak sedikit para suami yang dulunya setia pada sang isteri, kini tergoda oleh tahta, harta dan wanita.
Catatan kritisnya adalah apakah perilaku dulang tinande seorang isteri masih perlu dijaga dan dipelihara, jika suaminya menceburkan diri pada perilaku yang tidak senafas lagi dengan norma kehidupan yang ada ? Sebut saja seorang suami yang statusnya tercatat sebagai Pejabat Tinggi Negara, lalu dirinya memanjakan sang isteri dengan memberi kehidupan penuh kemewahan, tapi semuanya itu diperoleh lewat hasil korupsi, haruskah seorang isteri dulang tinande ?
Sikap dulang tinande, sesungguhnya mengandung nilai kehidupan yang cukup luhur dan penuh kemuliaan. Nilai filosofinya terletak pada keikhlasan seseorang dalam menerima nasib dan kehidupan. Pertanyaannya, benarkan sikap dulang tinande akan tumbuh dan berkembang baik, sekiranya tidak ada “take and give” dari para pelakunya, sebagaimana halnya dalam kehidupan sebuah rumah tangga ?
Banyak cerita yang sering kita baca di media sosisl, terkait adanya seorang isteri yang ingin menghajar suaminya, karena kepergok sedang indehoy dengan “daun muda” di sebuah hotel. Menyikapi hal seperti ini, wajar bila sang isteri pun merenung dan mengajukan pertanyaan, masih pantaskah dirinya bersikap dulang tinande terhadap sang suami, bila suaminya telah melanggar mahligay rumah tangga yang sakral ini ?
Dulang tinande, mestinya tampil menjadi nilai kehidupan yang bersifat universal. Dulang tinande merupakan sikap yang dapat ditempuh dan dilakoni oleh siapa saja. Dulang tinande tidak ditentukan oleh pangkat dan jabatan serta status sosial seseorang. Seorang pejabat eselon 1 di sebuah Kementerian, nilainya sama saja dengan seorang petani gurem.
Sikap dulang tinande, harusnya tidak lekang oleh waktu. Tidak juga terdampak oleh berubahnya orde Pemerintahan. Apakah era Orde Lama, Orde Baru atau Orde Reformasi, nilai dulang tinande, tetap melestari dalam kehidupan. Kata kunci agar dulang tinande tetap tumbuh dan berkembang dengan harmonis, sangat ditentukan oleh keterbukaan diri seseorang.
Seorang isteri akan menerima dengan lkhlas terhadap perlakuan suaminya, jika disertai dengan keterbukaan diri sebagai kepala rumah tangga. Seorang isteri, harusnya akan merasa bangga dan bahagia, bila penghasilan suaminya betul-betul diperoleh dengan cara halal dan bukan dari hasil korupsi atau dari hasil jual beli jabatan.
Akan tetapi, sah-sah saja kalau seorang isteri akan kecewa berat jika suaminya banyak berbohong kepada isterinya. Bilangnya mau lembur, sehingga harus pulang malam. Nyatanya tidak. Malah dirinya ngamar di sebuah penginepan dengan mantan kekasihnya, yang kini jadi wanita penghibur. Bilangnya ada tugas ke luar kota. Faktanya lagi-lagi pergi ke Ciater menikmati mandi air panas dengan selingkuhannya.
Selama tidak ketahuan, boleh jadi sang isteri percaya atas penjelasan suaminya. Walau penghasilannya jadi berkurang, isterinya menerima dengan ikhlas setiap bulannya. Padahal, kalau boleh jujur, uang yang diperoleh dari hasil kerja kerasnya itu, sebagian digunakan sang suami untuk berselingkuh ria dengan mantan kekasihnya itu.
Masalahnya, bagaimana kalau kepergok dan “kahongkeun” dirinya punya selingkuhan seorang wanita penghibur ? Apakah isterinya masih akan dulang tinande kepada suaminya ? Atau tidak, dimana isterinya akan marah besar terhadap kelakuan suaminya, yang nyata-nyata telah berbohong dan menodai kehidupan rumah tangganya ? Inilah yang namanya apes.
Memudarnya sikap dulang tinande seorang isteri terhadap suami, tidak bisa disangkal, kini memang tengah terjadi. Seiring perkembangan jaman, seorang isteri dengah mudah dapat mengikuti perjalanan hidup dan tingkah laku suaminya. Terlebih bagi seorang suami yang ketahuan sedang “beger” lagi. Betapa tidak ! Sebab, isterinya tahu persis ada perubahan sikap keseharian suaminya.
Terlepas dari pro kontra nilai dulang tinande dalam kehidupan sebuah rumah tangga, namun waktu yang terjadi, tidak mungkin dapat dikhianati. Pada jaman nya, sikap seorang isteri yang dulang tinande terhadap suami, memang pernah dan masih berlangsung dalam kehidupsn. Itu sebabnya, tidak terlalu berlebihan bila sikap dulang tinande, patut dijadikan cermin dalam mengarungi mahligey rumah tangga. Dijamin banyak untung, ketimbang kerugiannya. (PENULIS, KETUA HARIAN DPD HKTI JAWA BARAT).