Dzikir, dalam arti sederhana, adalah mengingat dan menyebut nama Allah. Namun, apakah dzikir sekadar mengulang lafaz tanpa makna? Ataukah dzikir baru menemukan esensinya ketika diucapkan oleh mereka yang memiliki intelektualitas tinggi?
Dalam sejarah pemikiran Islam, para ilmuwan besar seperti Ibnu Sina, Al-Farabi, dan Al-Khawarizmi tidak hanya memahami dunia dengan kecerdasan rasional, tetapi juga dengan kebijaksanaan spiritual. Mereka yang bekerja di laboratorium, mengamati keajaiban alam semesta, sering kali lebih mudah memahami kebesaran Allah. Setiap penemuan yang mengungkap rahasia alam semesta menjadi sarana untuk semakin mendekatkan diri kepada-Nya.
Seorang ilmuwan yang menyelidiki hukum-hukum fisika akan menemukan keseimbangan dan keteraturan dalam alam. Ketika ia melihat bagaimana gravitasi bekerja dengan presisi yang luar biasa, ia mungkin secara spontan akan mengucapkan Subhanallah—sebuah ekspresi kekaguman atas kebesaran Allah. Begitu pula seorang ahli biologi yang mengamati kompleksitas DNA dan bagaimana kode-kode genetika bekerja dengan sempurna, akan merasakan keagungan penciptaan dan berkata, Allahu Akbar.
Dzikir yang lahir dari pemahaman mendalam ini bukanlah sekadar lantunan tanpa makna, melainkan refleksi dari kesadaran intelektual dan spiritual yang bersatu. Mereka yang berzikir dengan ilmu memahami bahwa setiap partikel di alam semesta adalah tanda kebesaran Tuhan. Oleh karena itu, dzikir menjadi lebih dari sekadar ritual, tetapi juga sebuah bentuk pengakuan terhadap keagungan Ilahi yang ditemukan dalam setiap penelitian dan observasi.
Inilah mengapa dalam Islam, ilmu dan iman tidak pernah terpisah. Ilmuwan yang sejati bukan hanya mencari kebenaran rasional, tetapi juga menemukan makna spiritual di dalamnya. Dzikir yang keluar dari mulut mereka adalah dzikir yang memiliki bobot, bukan sekadar repetisi, melainkan ungkapan ketakjuban yang muncul dari pemahaman mendalam.
Maka, dzikir bukan hanya milik mereka yang duduk di atas sajadah, tetapi juga milik mereka yang tenggelam dalam penelitian, mengungkap misteri alam semesta, dan akhirnya menyadari bahwa di balik semua itu, ada Sang Maha Pencipta. Hanya mereka yang berpikir dan merenung yang benar-benar memahami makna dzikir sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal” (QS. Ali Imran: 190).
Di sudut laboratorium, di bilik sunyi, Mata menatap, pikiran berlari. Atom menari, cahaya membias, Rahasia semesta perlahan terungkap jelas.
Dedaunan berbisik, bintang bernyanyi, Dalam hukum alam, tiada yang sewenang. Gravitasi teguh, DNA terjalin rapi, Subhanallah, betapa indahnya wahyu Ilahi.
Seorang ilmuwan termenung sendiri, Merenung angka, menelaah teori. Dalam rumus dan hitungan yang tak terperi, Allahu Akbar, nyata kuasa-Nya tak terbagi.
Dzikir bukan sekadar kata berulang, Tapi suara hati yang terus bergetar. Ketika ilmu bertemu iman, Semesta pun bersujud dalam keagungan.
Langit dan bumi, siang dan malam, Tertulis ayat di tiap halaman. Bagi yang berpikir, bagi yang menyelam, Tanda-tanda-Nya nyata dalam keilmuan.
Maka, wahai pencari kebenaran, Jangan sekadar menunduk dalam ritual. Dzikir sejati lahir dalam keheranan, Saat akal dan jiwa menyatu dalam satu kesaksian.