Berapa Gajinya? Tsamara Amany menjadi Komisaris Holding BUMN Perkebunan sejak akhir tahun lalu. Rata-rata remunerasi Dewan Komisaris PTPN sekitar Rp223,3 juta per bulan.
Di negeri yang penuh dengan drama politik dan kepentingan, ada suatu seni yang luar biasa dalam menjaga kekuasaan: mengendalikan pendukung dengan gula manis. Bayangkanlah, di tengah sorotan lampu panggung politik, seorang pemimpin yang mahir melumuri bibirnya dengan lelehan gula manis, siap untuk memikat para pengikutnya.
Pertunjukan dimulai dengan cara yang paling dramatis: pidato-pidato yang meriah di depan massa yang takjub. Tidak peduli seberapa kosongnya janji-janji itu, yang penting kata-kata terucap dengan gaya dan nada yang tepat. Suara emas pemimpin itu terus bergetar di udara, membelai telinga para pendukung yang haus akan pujian dan harapan palsu.
Ketika gula manis mulai mengalir, datanglah aliran kebijakan yang diperuntukkan bagi para pengikut setia. Dalam keajaiban teatrikalnya, rezim menyajikan subsidi sana-sini, tanpa peduli apakah itu benar-benar untuk kebaikan rakyat atau hanya untuk mendapat tepuk tangan yang lebih keras. Dalam panggung politik, segalanya boleh tampil gemerlap, seakan-akan kehidupan riil adalah sekadar drama yang dimainkan dengan sempurna.
Tidak lupa, media yang tunduk juga berperan penting dalam sandiwara ini. Mereka menyampaikan setiap kebijakan sebagai solusi ajaib yang akan menyelamatkan dunia, mengaburkan fakta dengan cemerlang dan mewarnai kenyataan sesuai narasi rezim. Setiap kritik dihaluskan, dan lawan-lawan politik dihantam dengan manuver-manuver politik yang licik.
Namun, di balik keramaian dan kehebatan itu, ada sekelompok minoritas yang terpinggirkan, yang bukan hanya mendapat sisa-sisa gula manis, tetapi juga kepedihan dan ketidakadilan. Mereka adalah para penghuni sisi gelap panggung, yang terus-menerus digiring ke dalam bayang-bayang ketidakpastian dan penindasan.
Di sinilah ironi kekuasaan terletak: semakin banyak gula manis yang diucurkan, semakin tajam rasa kepedihan bagi mereka yang terpinggirkan. Tapi tak apa, pertunjukan harus berlanjut, karena yang penting bukanlah kebenaran atau keadilan, melainkan drama dan kemegahan yang mampu membuat pengikut tetap terpikat.
Dan begitulah cara sebuah rezim bertahan, dengan memelihara loyalitas dan dukungan lewat gula manis kekuasaan, seolah politik adalah pertunjukan di atas panggung yang tidak pernah berakhir.