Oleh : Ali Syarief
“Etika dan Kontroversi Pernyataan Presiden dalam Pemilihan Presiden 2024”
Seburuk-buruk manusia adalah seorang Presiden yang tidak mau menjalankan Etika. Mengapa? Karena Etika merujuk pada seperangkat prinsip moral atau nilai-nilai yang membimbing perilaku dan keputusan seseorang. Itulah mengapa Prof. Jimly Ashidiqie mengatakan bahwa “etika lebih tinggi kedudukannya dari hukum Positive”. Posisi Presiden dan Pimpinan Negara lainnya, dipagari oleh Etika. Ia adalah filter untuk tidak melabrak pagar area pelanggaran hukum.
Etika memberikan panduan untuk perilaku yang benar. Dengan mengikuti prinsip-prinsip etika, seseorang atau kelompok dapat membuat keputusan yang didasarkan pada nilai-nilai moral dan meminimalkan risiko melanggar norma-norma sosial atau hukum.
Tapi yang lebih penting dari itu semua adalah bahwa “Etika juga berperan dalam menentukan pertanggungjawaban seseorang terhadap tindakan atau keputusan yang diambil. Dengan memahami dan mengikuti prinsip-prinsip etika, seseorang dapat dengan lebih efektif bertanggungjawab atas tindakannya”.
Karena itu, Etika dapat membantu individu atau kelompok untuk menjaga kehormatan dan integritas mereka. Melalui tindakan yang sesuai dengan nilai-nilai etika, seseorang dapat membangun reputasi yang baik dan dihormati oleh orang lain.
Menyimak apa yang disampaikan Prof Mahfud MD, pada pernyataannya yang viral pada waktu itu; “bila seorang pemimpin kebijakannya, kontroversial, mendapat cemoohan dari rakyat, tidak harus menunggu sampai ia dinyatakan melanggar hukum, mundur”. Ini benar. Pernyataannya didasarkan pada KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR VI/MPR/2001 TENTANG ETIKA KEHIDUPAN BERBANGSA.
Sejatinya, kita harus bangga, bahwa soal etika di negeri ini, sudah dilegitimasi dalam ketentuan hukum yang kedudukannya lebih tinggi dari UU. Dengan demikian, Etika dapat berfungsi sebagai kerangka kerja yang membantu mengurangi konflik dan ketidak-setujuan di antara individu atau kelompok. Ketika nilai-nilai moral dihormati dan diakui, akan lebih mudah untuk mencapai konsensus.
Jadi ketika Jokowi, memperlihatkan salah satu pasal dalam uu Pemilu, bahwa seorang presiden boleh berkampanye dan memihak kepada satu Paslon, sontak saja ditentang oleh banyak Pihak. Ini potret bahwa etika masih ada dalam benak bangsa Indonesia.
Lebih jauh PDIP menanggapinya seperti ini, Ketua Bidang Kehormatan DPP PDI-P Komarudin Watubun menilai Presiden Joko Widodo telah melanggar etika dan moral berbangsa jika memihak dan mengampanyekan salah satu calon kandidat dalam ajang pemilihan presiden 2024.
Hal ini disampaikan Komarudin menanggapi pernyataan Presiden Jokowi bahwa presiden boleh berkampanye dan memihak pasangan calon tertentu. “Ini soal etik moral berbangsa. Itu sampai senior-senior orang-orang, tokoh-tokoh nasional yang sudah tua-tua ini semua yang memperjuangkan, ini kan prinsip bernegara,” kata Komarudin kepada wartawan, Rabu (24/1/2024).
“Saya jelaskan pertama dari aspek etika moral berbangsa ya, bangsa bisa runtuh kalau etika dan moralnya tidak ada,” tegasnya.
Komarudin khawatir pernyataan presiden itu menimbulkan keruntuhan bangsa apabila dilakukan tanpa memerhatikan etika dan moral. Terlebih, pada Pilpres 2024, putra sulung Presiden Jokowi adalah Gibran Rakabuming Raka turut berkontestasi sebagai calon wakil presiden (cawapres) nomor urut 2. “Kan anaknya dicalonkan jadi wapres.
Jadi, kalau bapaknya presiden aktif, mengampanyekan anaknya menjadi presiden, itu baru pertama kali terjadi di dunia. Itu yang harus dihindari,” ujar anggota Komisi II DPR ini. Komarudin menilai, Presiden Jokowi harus menghindari apa yang dikhawatirkan publik akan potensi perilaku korupsi, kolusi, nepotisme (KKN) jika ia turut mengampanyekan anaknya.
Lebih lanjut, Komarudin juga mempertanyakan kapasitas Jokowi saat menyatakan soal presiden boleh berkampanye sebagai presiden atau justru sebagai anggota partai politik.
Oleh karena itu, dia meminta pihak Komisi Pemilihan Umum (KPU) memeriksa kembali apakah nama Jokowi masuk dalam tim sukses paslon tertentu. “Ini boleh dikroscek ke KPU jangan sampai mereka ada daftar dia sebagai jurkam juga.
Harap dikroscek kalau menurut aturan ya itu,” ucapnya. “Kemudian dari segi etikanya tadi itu, bagaimana Pak Presiden melarang minta TNI, Polri, ASN, KPU, Bawaslu netral, sementara beliau sendiri mau turun kampanye untuk calon tertentu, kacau jadinya,” pungkas Komarudin.