Dalam ranah hukum Islam, perbedaan pendapat di antara para ulama sering kali mencerminkan kompleksitas dan kedalaman kajian terhadap sumber-sumber hukum, terutama Al-Qur’an dan Hadis. Salah satu isu yang menarik untuk dibahas adalah mengenai hukum interaksi dengan anjing. Meski semua ulama sepakat bahwa Al-Qur’an dan Hadis merupakan sumber hukum utama dalam Islam, interpretasi terhadap teks-teks ini sering kali menghasilkan perbedaan pandangan yang signifikan.
Hukum terkait anjing, khususnya mengenai status kenajisannya dan bagaimana cara menyucikan diri setelah bersentuhan dengan anjing, menjadi salah satu contoh di mana terdapat inkonsistensi dalam interpretasi Hadis oleh para ulama dari empat mazhab utama: Syafi’i, Hanafi, Maliki, dan Hanbali. Hadis yang berbicara tentang anjing memberikan landasan yang beragam bagi ulama dalam menetapkan hukum, yang pada akhirnya menghasilkan perbedaan pandangan di antara mazhab-mazhab ini.
Prolog ini membawa kita untuk merenungi, bahwa dalam syariat yang bersandar pada Hadis, sering kali terdapat ruang interpretasi yang luas, yang bisa menghasilkan keputusan hukum yang beragam. Hal ini tidak hanya mencerminkan fleksibilitas dalam hukum Islam, tetapi juga mengingatkan kita akan pentingnya memahami konteks dan metodologi dalam penafsiran hukum syariah.
Dalam Islam, terdapat empat mazhab utama yang menjadi rujukan bagi umat Muslim dalam menjalankan hukum-hukum agama, yaitu Mazhab Syafi’i, Hanafi, Maliki, dan Hanbali. Masing-masing mazhab memiliki pandangan yang sedikit berbeda mengenai hukum memelihara atau berinteraksi dengan anjing. Berikut adalah penjelasan tentang pandangan keempat mazhab tersebut:
1. Mazhab Syafi’i
– Dalam Mazhab Syafi’i, anjing dianggap sebagai najis berat (najis mughallazah). Oleh karena itu, setiap kali seseorang bersentuhan dengan anjing, baik karena bulu, air liur, atau bagian tubuh lainnya, maka dia harus mencuci bagian tubuh atau benda yang terkena sebanyak tujuh kali, salah satunya dengan tanah atau benda lain yang berfungsi sebagai pengganti tanah, seperti sabun atau cairan antiseptik. Karena itu, umat Muslim dalam mazhab ini sangat berhati-hati dalam berinteraksi dengan anjing.
2. Mazhab Hanafi
– Mazhab Hanafi memiliki pandangan yang sedikit lebih longgar dibandingkan dengan Mazhab Syafi’i. Menurut Mazhab Hanafi, anjing tidak dianggap sebagai najis mutlak. Bulu anjing yang kering tidak dianggap najis, namun air liur anjing dianggap najis. Jika seorang Muslim terkena air liur anjing, maka dia hanya perlu mencuci bagian yang terkena dengan air. Mazhab Hanafi lebih memperbolehkan untuk memelihara anjing, terutama untuk tujuan yang sah seperti berburu atau menjaga ternak.
3. Mazhab Maliki
– Mazhab Maliki memiliki pandangan yang paling ringan terkait dengan najisnya anjing. Dalam pandangan Mazhab Maliki, anjing tidak dianggap najis sama sekali, termasuk bulu dan air liurnya. Namun, meminum air atau makanan yang telah dijilat oleh anjing dianggap tidak suci, dan air atau makanan tersebut harus dibuang. Meski begitu, anjing tetap boleh dipelihara, terutama untuk tujuan yang dibenarkan oleh syariat.
4. Mazhab Hanbali
– Mazhab Hanbali sejalan dengan Mazhab Syafi’i dalam pandangannya bahwa anjing adalah najis, terutama air liurnya. Jika seseorang bersentuhan dengan air liur anjing, dia harus mencuci bagian yang terkena sebanyak tujuh kali, salah satunya dengan tanah. Namun, Mazhab Hanbali sedikit lebih fleksibel dalam hal memelihara anjing untuk tujuan tertentu, seperti berburu, menjaga ternak, atau keamanan.
Kesimpulan:
Keempat mazhab sepakat bahwa memelihara anjing untuk tujuan yang dibenarkan syariat, seperti berburu, menjaga ternak, atau keamanan, diperbolehkan. Namun, ada perbedaan dalam hal seberapa najis anjing dianggap dan bagaimana cara membersihkan najis tersebut. Mazhab Syafi’i dan Hanbali cenderung lebih ketat, sementara Mazhab Hanafi dan Maliki lebih longgar dalam hal ini.