Oleh: Karyudi Sutajah Putra, Marbot Musala
Jakarta, Fusilatnews – Begitu terjaga dari tidurnya, Ibrahim tercenung. Ia teringat mimpinya yang tak Indah semalam: menyembelih Ismail!
Ibrahim mulai terobsesi. Tapi belum sepenuhnya percaya. Setan pun selalu menggoda. Malam harinya, ia bermimpi lagi. Peristiwa yang sama terjadi lagi: menyembelih Ismail!
Akhirnya, Ibrahim pun memanggil Ismail yang baru beranjak remaja itu dan memintanya untuk memikirkan hal tersebut. Dengan takzim, Ismail mempersilakan Ibrahim untuk memotong lehernya sehingga Ibrahim mendapati remaja yang Suci dan tampan itu sebagai seorang yang sabar.
Saat Ibrahim mengayunkan pedang, sekonyong-konyong Allah SWT mengganti Ismail dengan seekor domba. Selamatlah dia.
Ya, Ismail adalah anak semata wayang Ibrahim. Sudah sekian lama Ibrahim yang sudah sepuh itu menginginkan hadirnya seorang putra yang saleh.
Pernikahannya dengan Sarah tak memberinya keturunan. Sampai kemudian menikah lagi dengan Hajar, barulah Ibrahim mendapatkan seorang putra. Itu pun tidak serta-merta. Ada jeda cukup lama.
Jadi, bisa dibayangkan betapa Ibrahim begitu menyayangi dan mencintai Ismail. Namun, rasa sayang dan cintanya kepada Ismail masih terkalahkan oleh ketakwaannya kepada Allah SWT, sehingga ia pun menuruti perintah-Nya: menyembelih Ismail!
Dari sisi Ibrahim, kita dapat memetik hikmah keikhlasan berkorban. Sedangkan dari sisi Ismail, kita dapat memetik hikmah kesabaran. Keduanya merupakan nabi dan rasul Allah SWT.
Peristiwa percobaan penyembelihan Ismail itu terjadi pada 10 Zulhijjah entah tahun berapa, yang hari ini kita peringati sebagai Hari Raya Idul Adha.
Dalam Idul Adha, umat Islam diperintahkan untuk menyembelih dan mengorbankan hewan ternak sebagai manifestasi ketakwaan sekaligus rasa syukur kepada Allah SWT.
Apakah pengorbanan yang dicontohkan Ibrahim dan kesabaran yang dicontohkan Ismail sudah menjiwai seluruh umat Islam bahkan seluruh umat beragama di Indonesia yang dikenal sebagai Negeri Para Bedebah, meminjam judul puisi Adhie Massardi (2009) dan judul novel Tere Liye (2012) ini?
Dalam Negeri Para Bedebah, banyak serigala berbulu domba. Pagar suka makan tanaman. Aparat penegak hukum yang semestinya menegakkan hukum, justru melanggar hukum. Kerakusan dan keserakahan merajalela. Penguasa hidup mewah, rakyat hidup menderita.
Kita cermati saja fenomenanya. Kalau sekadar mengorbankan hewan ternak, sudah banyak bahkan terlalu banyak orang Indonesia yang melakukannya. Bahkan koruptor yang sedang dipenjara pun ada yang berkorban.
Akan tetapi untuk mengorbankan kepentingan pribadi, betapa langkanya. Manusia kian serakah.
Tahun 2022, Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) mencatat, potensi ekonomi dari korban di Indonesia mencapai Rp24,3 triliun yang berasal dari 2,17 juta orang pekorban. Jumlah ini naik tipis dibandingkan tahun 2021 yang besarnya Rp22,3 triliun dari 2,11 juta orang pekorban.
Menurut IDEAS, kebutuhan hewan korban terbesar tahun 2022 adalah kambing-domba sekitar 1,31 juta ekor, dan sapi-kerbau sekitar 519 ribu ekor.
Bukan Hanya Simbolik
Berkorban sesungguhnya bukan hanya simbolik dengan menyembelih hewan ternak. Berkorban sesungguhnya adalah menyembelih ego dan segala hawa nafsu, terutama “hubbud dunya” (cinta dunia yang berlebihan). Sebab, hubbud dunya itu pangkal dari segala kejahatan. Hubbud dunya melahirkan keserakahan.
Ibrahim tidak hubbud dunya. Ibrahim tidak serakah. Ibrahim tidak mau menguasai Ismail seutuhnya. Ibrahim rela berkorban. Ikhlas, seperti orang Pemalang, Jawa Tengah.
Korupsi yang kian merajalela di Indonesia pun merupakan manifestasi dari hubbud dunya.
Pertikaian politik dan perebutan kuasa yang tak ada ujung-pangkalnya pun merupakan manifestasi dari hubbud dunya.
Alhasil, semoga pasca-Idul Adha ini Indonesia tak lagi menjadi Negeri Para Bedebah. Semua orang ikhlas berkorban. Semua orang bisa bersabar.
Tidak korupsi pun merupakan pengorbanan bagi penguasa. Apalagi bila ikhlas dalam bekerja.
Sabar ketika ditimpa musibah seperti penyakit dan kemiskinan pun merupakan pengorbanan. Apalagi jika kita ikhlas menjalaninya.
Sebagai penutup, ada baiknya kita simak puisi “Negeri Para Bedebah” (2009) karya Adhie Massardi berikut ini:
Negeri Para Bedebah
Ada satu negeri yang dihuni para bedebah
Lautnya pernah dibelah tongkat Musa
Nuh meninggalkan daratannya karena direndam bah
Dari langit burung-burung kondor menjatuhkan bebatuan menyala-nyala
Tahukah kamu ciri-ciri negara para bedebah?
Itulah negeri yang para pemimpinnya hidup mewah
Tapi rakyatnya makan dan mengais sampah
Atau menjadi kuli di negeri orang
Yang upahnya serapah dan bogem mentah
Di negeri para bedebah
Orang baik dan bersih dianggap salah
Dipenjarakan hanya karena sering ketemu wartawan
Menipu rakyat dengan pemilu menjadi lumrah
Karena hanya penguasa yang boleh marah
Sedangkan rakyatnya hanya bisa pasrah
Maka bila negerimu dikuasai para bedebah
Jangan tergesa-gesa mengadu kepada Allah
Karena Tuhan tak akan mengubah apa suatu kaum
Kecuali kaum itu sendiri mengubahnya
Maka bila melihat negeri dikuasai para bedebah
Usirlah mereka dengan revolusi
Bila tak mampu dengan revolusi, dengan demonstrasi
Bila tak mampu dengan demonstrasi, dengan diskusi
Tapi itulah selemah-lemahnya iman perjuangan.