Di sebuah kafe kecil yang terletak di sudut kota Bandung sebelah utara, seorang wartawan veteran senior, Pak Rahmat, duduk di meja dekat jendela. Ia menyesap kopi hitamnya sambil menunggu seorang tamu yang sangat istimewa baginya. Tidak lama kemudian, seorang pemuda dengan langkah sedikit tergesa memasuki kafe, dan segera menghampiri meja tempat Pak Rahmat duduk.
“Selamat pagi, Pak Rahmat,” sapa pemuda itu dengan penuh hormat.
“Selamat pagi, Rafi,” jawab Pak Rahmat dengan senyum hangat. “Duduklah. Ada banyak yang ingin saya bicarakan denganmu hari ini.”
Rafi, seorang wartawan muda yang baru beberapa tahun terjun di dunia jurnalistik, duduk dengan penuh antusiasme. Ia selalu mengagumi Pak Rahmat yang dikenal sebagai salah satu wartawan paling jujur dan berintegritas tinggi di Indonesia.
“Rafi, sebagai wartawan muda, kamu memiliki banyak potensi. Namun, ada satu hal yang sangat penting yang ingin saya sampaikan padamu,” Pak Rahmat memulai dengan nada serius. “Jangan pernah campur adukkan kebenaran dengan kebatilan.”
Rafi menatap Pak Rahmat dengan penuh perhatian, menyadari bahwa nasihat ini akan sangat berharga.
“Saya pernah mendengar fatwa dari mantan Rektor Unisba dan Ketua MUI, DR. KH. E.Z Muttaqien,” lanjut Pak Rahmat. “Beliau menjelaskan kewajiban seorang wartawan berdasarkan surat Al-Baqarah ayat 42, ‘Wa lā talbisul haqqa bil bāthili wa taktumul haqqa wa antum ta’lamūna.’ Artinya, ‘Jangan kalian mencampur kebenaran dengan kebatilan. Jangan juga kalian menyembunyikan kebenaran. Padahal kalian menyadarinya.’”
Rafi mengangguk pelan, merenungkan makna mendalam dari ayat tersebut.
“Sebagai wartawan, tugas utama kita adalah menyampaikan kebenaran kepada publik,” lanjut Pak Rahmat. “Tidak peduli seberapa besar godaan untuk membuat berita yang sensasional atau menguntungkan pihak tertentu, kita harus tetap berpegang pada kebenaran. Integritas adalah segalanya dalam profesi ini.”
Pak Rahmat melanjutkan ceritanya tentang pengalamannya bertahun-tahun sebagai wartawan, tentang bagaimana ia harus menghadapi tekanan dari berbagai pihak, namun selalu berusaha untuk tetap setia pada prinsip-prinsip jurnalistik yang benar.
“Di era digital ini, tantangan semakin besar,” kata Pak Rahmat. “Banyak sekali informasi palsu dan hoaks yang beredar. Kita harus lebih berhati-hati dalam melakukan verifikasi dan cross-checking informasi sebelum menyebarkannya kepada publik.”
Rafi mendengarkan dengan seksama, menyadari betapa pentingnya nasihat ini bagi kariernya. Ia tahu bahwa sebagai wartawan muda, masih banyak yang harus ia pelajari dan tekuni.
“Kode etik jurnalistik adalah panduan kita,” tambah Pak Rahmat. “Prinsip-prinsip seperti kebenaran, keadilan, dan keberimbangan harus selalu kita junjung tinggi. Jangan pernah biarkan bias mengaburkan penilaian kita.”
Pak Rahmat kemudian mengambil buku catatan kecil dari sakunya dan menuliskan sesuatu di halaman pertama. Ia menyerahkan buku itu kepada Rafi.
“Ini adalah beberapa catatan penting yang saya buat selama bertahun-tahun. Bacalah dan pelajari, Rafi. Saya yakin ini akan membantumu menjadi wartawan yang lebih baik.”
Rafi menerima buku itu dengan rasa terima kasih yang mendalam. “Terima kasih banyak, Pak Rahmat. Saya akan ingat dan mengamalkan semua nasihat Anda.”
Pak Rahmat tersenyum lembut. “Ingatlah, Rafi. Menjadi wartawan adalah tugas yang mulia, tetapi juga penuh tantangan. Selalu pegang teguh prinsip kebenaran, karena pada akhirnya, kebenaranlah yang akan membawa kita pada kemajuan dan kemaslahatan bersama.”
Percakapan mereka terus berlanjut, membahas berbagai topik lain yang berkaitan dengan dunia jurnalistik. Namun, nasihat tentang menjaga kebenaran tetap menjadi inti dari diskusi mereka. Di bawah bimbingan Pak Rahmat, Rafi merasa semakin yakin dan siap menghadapi dunia jurnalistik dengan integritas dan dedikasi yang tinggi.