Dalam kehidupan yang begitu dipenuhi oleh flow of information, ada sebuah kata yang kerap kali muncul, seolah menjadi mantra dalam kehidupan sosial kita, yakni “jarene”—atau, katanya. Kata ini seringkali menjadi pengantar bagi seseorang yang tidak lagi melakukan inquiry terhadap suatu hal, yang lebih memilih untuk menerima truths yang telah dikonstruksi oleh mainstream thinking. Dengan begitu, ia menjadi bagian dari habitus kolektif yang tidak pernah mempertanyakan lagi makna atau asal-usulnya.
“Jarene”, atau katanya, adalah symbolic gesture yang tumbuh subur dalam masyarakat yang lebih suka mendengarkan daripada merenungkan. Ia bukanlah representasi dari kebenaran yang melalui proses rational discourse, melainkan hasil dari social consensus yang diterima begitu saja tanpa telaah kritis. Dan dalam kenyataannya, kebenaran semacam ini lebih sering berperan sebagai pseudo-truth—sebuah kebenaran yang diterima bukan karena pemahaman mendalam, tetapi karena pengaruh sosial dan dominasi diskursus yang ada.
Mungkin kita perlu bertanya: apakah kita hanya sekadar performativity dari kata-kata yang kita dengar? Ataukah kita telah terperangkap dalam representasi kebenaran yang tak pernah kita uji? Sebuah reified belief yang tanpa kita sadari menjelma menjadi kebenaran tanpa kita coba dekonstruksi. “Jarene” adalah cermin dari keadaan tersebut. Dalam konteks ini, kata tersebut menggambarkan peran kita sebagai bagian dari masyarakat yang lebih suka mematuhi status quo tanpa berani membuka ruang untuk epistemic rupture—patah atau robeknya cara kita memahami dunia.
Masyarakat kita, dalam banyak aspek, sering kali terpaku pada prinsip consensus reality. Apa yang katanya benar, itu yang diterima tanpa proses refleksi atau evaluasi mendalam. Namun, apa yang terjadi ketika kita membuka pikiran kita untuk bertanya lebih jauh, untuk meragukan dan mencari bukti konkret? Bukankah dalam epistemological violence yang terjadi, kita sering kali dipaksa untuk mengabaikan kebenaran yang lebih kompleks dan berlapis? Kebenaran yang tidak hanya terungkap dalam superficiality, tetapi dalam kedalaman pemikiran yang jauh lebih luas.
Lalu, mengapa kita harus terus membiarkan “katanya” menjadi panduan kita? Bukankah setiap individu, sebagai bagian dari collective intelligence, berhak untuk menggali lebih jauh, mencari makna di balik setiap kata? Dalam dunia yang penuh dengan information overload, kita seringkali terjebak dalam echo chamber, di mana semua yang kita dengar hanya memperkuat keyakinan yang ada tanpa ada ruang untuk pertanyaan. Di sinilah “jarene” menjadi sekadar rekayasa sosial, yang membuat kita enggan keluar dari zona nyaman untuk menyelidiki kebenaran yang lebih hakiki.
Kita hidup di dunia yang tak lagi bisa hanya mengandalkan authority atau tradition sebagai sumber kebenaran. Oleh karena itu, kita harus meruntuhkan hegemonic discourse yang menganggap bahwa kebenaran hanya dapat ditemukan dalam apa yang umum diterima tanpa pertanyaan. Jika kita terus membiarkan kata “katanya” mendikte kehidupan kita, kita hanya akan terjebak dalam circular reasoning, yang tak pernah mencapai titik terang.
Jadi, marilah kita gunakan kemampuan critical thinking kita untuk menerobos ketidakpastian ini. Menggali, meragukan, dan membuka diri terhadap pemahaman baru. Karena dalam interrogation terhadap apa yang katanya benar, kita mungkin menemukan kebenaran yang lebih dalam dan lebih otentik, bukan hanya berdasarkan apa yang kita dengar, tetapi juga berdasarkan apa yang kita percayai setelah menelitinya dengan sepenuh hati. Sebuah epistemic awakening yang membawa kita menuju pemahaman yang lebih mendalam tentang dunia di sekitar kita.