“Ini walau kulitnya seperti ini, isinya manis, enak, Bu,” kata seorang pedagang jeruk di pasar tradisional Indonesia. Kalimat itu sederhana, tapi menyimpan refleksi mendalam tentang cara berpikir masyarakat kita. Ia mencerminkan sikap permisif terhadap penampilan luar yang seadanya, selama substansi di dalamnya dianggap cukup. Namun, apakah itu cukup?
Saya semakin yakin, Jepang tidaklah begitu. Di negeri matahari terbit itu, jeruk yang dijual di toko maupun pasar tidak hanya harus manis dan segar, tetapi juga tampil sempurna secara visual. Tidak ada ruang bagi jeruk yang berbintik atau kulitnya kurang mulus untuk bersanding di rak penjualan. Bahkan, buah pun harus memiliki reputasi yang baik, karena penampilan adalah bentuk penghormatan terhadap konsumen, dan lebih jauh lagi, cerminan dari budaya kerja serta etos bangsa itu sendiri.
Saya masih ingat ketika menerima kunjungan tamu-tamu Jepang. Dengan niat menjamu, saya suguhkan jeruk lokal—manis, segar, dan harum. Namun, tanpa sepatah kata pun, mereka menolaknya dengan senyum diplomatis. Bukan karena sombong, tapi karena penampilan jeruk itu tidak meyakinkan. Kulitnya tidak menarik. Ada bercak, ukuran tak seragam. Mereka, yang terbiasa hidup dalam sistem nilai yang menghargai kesempurnaan visual sebagai bagian dari integritas produk, enggan menyentuhnya. Bagi mereka, kualitas luar dan dalam harus selaras.
Ini bukan sekadar soal buah. Ini soal mentalitas. Di Indonesia, kita sering diajarkan untuk tidak menilai dari “cover-nya”. “Jangan lihat dari kulitnya, tapi dari isinya,” begitu nasihat umum kita. Namun, apakah tidak boleh kita mulai bertanya—mengapa tidak bisa keduanya baik? Mengapa kita merasa cukup dengan hanya ‘isi’ yang bagus, sementara ‘kulit’ dibiarkan apa adanya?
Penampilan bukanlah kebohongan. Dalam banyak hal, ia adalah bentuk tanggung jawab. Ketika seorang petani Jepang membungkus jeruknya satu per satu agar tak cacat, ia sedang menunjukkan dedikasi pada pekerjaannya. Ketika supermarket Jepang menolak buah dengan cacat visual, itu bukan berarti mereka munafik, tetapi karena mereka punya standar. Ada harga dari konsistensi, dan ada kepercayaan yang dibangun dari kepantasan.
Jika bangsa Jepang begitu peduli pada rupa sebuah jeruk, bisa kita bayangkan bagaimana mereka memperlakukan pekerjaan mereka yang lain—mobil, teknologi, pendidikan, hingga pelayanan publik. Kualitas bukan sekadar hasil akhir, tetapi proses panjang yang melibatkan perhatian pada detail dan penghormatan pada pengguna. Sebaliknya, jika kita terbiasa hidup dengan filosofi “yang penting dalamnya bagus”, maka kita sering mentoleransi banyak hal—bangunan publik yang reyot, pelayanan yang amburadul, sistem hukum yang tampak tak adil—karena merasa bahwa “niatnya baik” saja sudah cukup.
Mungkin, kita perlu belajar dari jeruk. Bahwa keindahan luar bukanlah musuh kejujuran, tetapi mitra dari integritas. Sebuah bangsa yang besar bukan hanya mampu menciptakan isi yang bernilai, tapi juga menyajikannya dalam rupa yang terhormat. Karena di situlah letak sejati dari penghargaan—baik terhadap diri sendiri maupun orang lain.
Apakah kita siap mengupas kembali cara pandang kita?