Damai Hari Lubis-Pengamat Hukum & Politik Mujahid 212
KPU harus sangat berhati-hati dan waspada, terutama jika ada sindikat atau kelompok kriminal yang berusaha melakukan manipulasi dalam pemilu. Mereka harus menolak tegas setiap upaya tersebut dan segera melaporkannya sebagai bentuk kecurangan, termasuk black campaign.
Fenomena politik pada tahun 2023-2024 telah menimbulkan banyak kecurigaan di masyarakat terkait kemungkinan keterlibatan KPU dalam berbagai pelanggaran dan kecurangan. Setidaknya, adanya dugaan pembiaran oleh KPU menjadi perhatian serius.
Beberapa gejala kecurangan dan pelanggaran yang terdeteksi menjelang pemilu (pilpres dan pileg 2024) antara lain:
Praktik kampanye tanpa payung hukum yang jelas oleh Jokowi tanpa mendapat teguran dari KPU (disebut sebagai pembiaran perilaku curang atau pelanggaran sistem hukum).
- Proses hukum terkait penunjukan Gibran sebagai Cawapres yang berlangsung di Mahkamah Konstitusi (MK).
- Pemungutan suara dalam pemilihan umum di Taipei pada tahun 2023.
- Penerapan sanksi keras yang terakhir sebanyak dua kali oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) terhadap Ketua KPU, tanpa kejelasan apakah sanksi tersebut dipatuhi.
- Pengakuan KPU terkait temuan 1,2 juta suara pemilih bodong.
Dan lain-lainnya yang terdeteksi oleh publik terkait pelanggaran dalam pemilu, baik yang telah diadukan maupun tidak, yang menjadi viral di berbagai media sosial namun tidak mendapat penanganan yang transparan dari KPU dan Bawaslu. Ketidaktransparanan ini membuat publik merasa bahwa kinerja kedua lembaga tersebut tidak objektif, proporsional, jujur, akuntabel, dan kredibel dalam menindaklanjuti pelanggaran dan kecurangan yang diduga kuat, termasuk praktik black campaign yang dilakukan oleh pihak yang berkuasa dengan pola terstruktur, sistematis, dan masif.
Oleh karena itu, KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilu pilpres dan pileg 2024 harus bertindak dengan jujur dan adil sesuai dengan ketentuan hukum yang tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017.
Jika KPU terbukti melakukan pelanggaran atau pembiaran terhadap kecurangan dalam penghitungan suara pemilu presiden dan legislatif, maka dapat dibayangkan dampaknya jika sejumlah pengunjung Jakarta International Stadium pada acara kampanye AMIN pada tanggal 10 Februari 2024, yang diprediksi akan berjumlah 3,5 juta orang, serta simpatisan di seluruh Indonesia, merasa didzolimi oleh kecurangan dalam pemilu. Mereka mungkin akan turun ke jalan-jalan di seluruh kota sebagai bentuk protes terhadap kecurangan yang diduga melibatkan KPU, berdasarkan bukti yang cukup.
Model atau pola turunnya massa ini dapat mengacu pada eksistensi peristiwa dalam sejarah politik bangsa-bangsa di seluruh dunia, di mana kecurangan oleh penguasa yang identik dengan kedzoliman akan memunculkan filosofi “suara rakyat adalah suara Tuhan” (vox Populi vox dei). Filosofi ini kemungkinan akan direpresentasikan oleh masyarakat Indonesia dalam upaya mereka memperjuangkan keadilan dan hukum yang tertinggi, yang menempatkan kepentingan rakyat sebagai yang terutama.
Namun, selain dari protes yang mengikuti prinsip “salus populi suprema lex esto” (keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi), ada kemungkinan terjadi kekacauan sosial (chaotic) karena beberapa massa yang mungkin labil dan telah merasakan ketidakadilan dalam sistem atau rezim. Hal ini dapat memicu emosi serta perilaku anarkis di antara mereka, didorong oleh faktor psikologis kerumunan atau massa, yang kemudian dapat mengarah pada tindakan pengadilan massa (eigenrichting) terhadap pejabat publik yang dianggap bertanggung jawab atas ketidakadilan tersebut.
Semoga, semua pejabat publik yang berwenang di negara ini, termasuk eksekutif, legislatif, dan yudikatif, terutama KPU sebagai penyelenggara Pemilu, menyadari bahayanya risiko kecurangan dalam Pemilu Pilpres dan Pileg 2024. Mereka harus saling menahan diri untuk tidak terlibat dalam kecurangan atau pelanggaran pemilu dalam bentuk apapun. Semua pihak, termasuk tim sukses, harus bertindak dengan jujur, adil, proporsional, dan objektif.
Dengan melakukan hal tersebut, diharapkan dapat terhindar dari prediksi terjadinya kekacauan jika ketentuan hukum dilanggar secara terang-terangan oleh kelompok yang memiliki kesempatan dan kekuasaan.