Oleh : M Yamin Nasution | Pemerhati Hukum
JOKOWI, orang yang dahulu terlihat polos, santun, baik, dan merakyat menjadi harapan besar bagi rakyat untuk menjadi pemimpin seperti pohon besar nan rindang, dimana daunnya tempat berteduh rakyat dari panas dan hujan, batangnya tempat bersandar rakyat dari ketidakadilan, dan urat pohon menjadi tempat duduk bagi rakyat yang letih berjuang dari beban kehidupan dan kemiskinan.
Harapan rakyat itu sirna, Jokowi lebih memilih memberikan pekerjaan pada pengangguran rakyat China yang sengaja didatangkan ke Indonesia untuk bekerja, dan seluruh kebijakan yang dilahirkan Jokowi terlihat lebih memihak pada RRC.
Jokowi tidak hanya ingkari janji-janji politik pada rakyat, bahkan dia tega mengusir rakyat dari pemukimannya demi investasi, selain itu banyaknya rakyat yang tewas seperti tragedi Kanjuhruan, Mutilasi dan pembunuhan lain di Papua, KM 50, semua ini keadilan yang tak di penuhinya. Privatisasi, Swastanisasi dan Korupsi besar-besaran terjadi di masa Jokowi, dan lagi-lagi dia ingkari janji pemberantasan korupsi.
Lebih-lebih saat memasuki akhir masa jabatannya, JOKOWI semakin memperlihatkan Syndrome Episodik Politik, kejiwaan yang tak bisa lepas dari pengalaman indah sebagai pemimpin politik tertinggi, sehingga dia melakukan banyak skandal untuk memperpanjang kekuasaanya, termasuk memuluskan jalan putranya maju dalam Pemilu 2024 melalui tangan iparnya Usman (Tercatat di Jurnal Hukum Konstitusi I-Connect 2023, Stefanus Hendrianto – Gregorian University).
Paska Amandemen ke empat, berdasarkan kesepakatan politik, pengaturan kejahatan khusus dalam Hukum Pidana Indonesia terbagi atas dua hal :
- Kejahatan khusus seperti terorisme, pemberontakan (makar), korupsi, dll, semua ini di atur di KUHP dan prosesnya merujuk pada KUHAP
- Kejahatan Khusus tentang pembangkangan terhadap Konstitusi, atau secara universal disebut Kejahatan Konstitusi, hal ini khusus di atur bagi pejabat tertinggi negara yaitu Presiden, Pengaturannya terdapat pada Pasal 7A UUD-NRI 1945 dan Proses Hukum Acaranya pada DPR-RI, MPR-RI, dan MK;
Pasal 7A
Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Johann Gotlieb Fitche, 2018 (Das System der Rechtslehre) mengatakan : “Hukum praktis ada dua, a). memerintah tanpa syarat dalam kategori hukum moral, dan b). perintah dengan syarat, kategori hukum kondisional. Pengaturan kebebasan seorang presiden dalam menjalankan tugas hanya berada terdapat pada UU Konstitusi atau hukum moral yang disebutkan oleh Fitche, tuntutan kehati-hatian dalam bersikap, baik bicara, sikap dan kebijakan dengan landasan moralitas yang di tuntun oleh Agama dan Budaya berkaitan dengan kepantasan, nilai-nilai yang hikmah dan bijaksana.
Seperti yang termuat sebelumnya : https://fusilatnews.com/apa-bila-kapolri-tidak-netral-dalam-pemilu-selain-dilarang-hukum-adalah-bentuk-penghinaan-terhadap-delapan-puluh-persen-ummat-islam-dan-ini-bagian-dari-jihad-allahu-akbar/ Bahwa Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 tentang penambahasan kalimat yang dilakukan oleh Ipar Jokowi, Usman tidak dapat dikatakan sah secara hukum, Han Kelsen dan pendahulunya David Hume, 2007 (Purity of Law), serta H.L.A Hart, 2012 (The Concept of Law) mengatakan : suatu putusan yang sah wajib tunduk dan taat pada aturan hukum, sedangkan Louis Michael Seidman, 2013 (On Constitutional Disobedience) mengatakan: suatu putusan yang tidak sah hanya disebut sebagai putusan yang legal, di putus oleh lembaga negara yang sah sebagai pembenaran.
Kejahatan yang dimaksud adalah penghianatan terhadap kesepakatan seluruh rakyat yang dijadikan dasar kesepakatan dalam bernegara, kejahatan terhadap konstitusi dapat menyebabkan bubarnya suatu negara, atau terjadinya kerusuhan yang menyebabkan korban atas reaksi dari kelompok masyarakat yang tidak terima, dalam konsep hukum pidana disebut delik formil. Pembakangan, penghianatan konstitusi adalah kejahatan besar bernegara, dan tercela adalah gagal dalam melindungi rakyat atau melakukan kesewenang-wenangan kekuasaan (pembiaran).
Sebagian mengatakan : “Putusan MK tersebut tidak dikeluarkan oleh presiden, melaikan Iparnya”, pandangan ini benar, namun perlu di fahami bahwa, positivisme hukum tidak dapat di negasikan tentang kriminologi, Gerardus Peter Hoefnegels, 2013 (The Other Side of Criminolgy: An Inversion of the Concept of Crime) mengatakan: bahwa hukum pidana mencari pelaku utama selain pelaku itu sendiri yang berkaitan dengan kekuasaan. Hanya pemegang kekuasaan yang paling potensi menjadi pelaku utama kejahatan, dalam hal ini merujuk pada pernyataan Faizal Assegaf (Metro TV, Kompas TV), bahwa orang-orang yang meresahkan rakyat hanya lima: Jokowi, Istri, dua anaknya dan Usman. Maka Konsep Pidana Indonesia yang melandasakan beberapa kasus pidana pada UUD sejalan dengan Belanda dan Swedia. Dan Jokowi dapat di Makzulkan dan dapat di Hukum Mati.