Dalam labirin kehidupan, manusia kerap mengarahkan pandangannya ke langit, berharap keajaiban turun sebagai embun yang membasahi dahaga. Namun, haruskah keajaiban dimaknai sebagai sesuatu yang lahir dari kehendak tak kasat mata, ataukah ia merupakan buah dari jerih payah yang tidak terhitung?
Keajaiban dalam kacamata dogma seringkali dimitoskan sebagai peristiwa yang berada di luar batas nalar, hadiah dari entitas yang lebih tinggi. Tetapi, sejarah dan kenyataan berbicara lain. Setiap keajaiban yang pernah terjadi di dunia ini bukanlah hasil dari mantra atau doa belaka, melainkan paduan antara kegigihan, kecerdasan, dan keberanian menghadapi ketidakpastian.
Thomas Edison, yang menemukan bola lampu setelah ribuan kali percobaan, pernah berkata, “Genius is one percent inspiration and ninety-nine percent perspiration.” Apa yang oleh banyak orang disebut keajaiban sejatinya hanyalah proses panjang yang tidak disaksikan. Demikian pula Wright bersaudara yang menciptakan pesawat, atau Michelangelo yang mengukir Pietà—semua merupakan manifestasi dari dedikasi tanpa batas, bukan sekadar keberuntungan surgawi.
Sejarah membuktikan bahwa manusia tidak seharusnya berdiam diri, menggantungkan harapan pada sesuatu yang tak dapat dikontrol. Keajaiban bukanlah intervensi ilahi, melainkan hasil dari keberanian seseorang dalam menapaki jalan yang tidak pasti. Seseorang yang ingin mencapai puncak gunung tidak akan tiba di sana dengan sekadar berdoa di kaki bukit. Ia harus mendaki, menanggung lelah, dan melawan keinginannya untuk menyerah.
Albert Einstein pun dengan tegas menyatakan, “Life is like riding a bicycle. To keep your balance, you must keep moving.” Keajaiban tidak terjadi di ruang kosong, melainkan di dalam medan perjuangan yang dipenuhi keringat dan kegagalan. Mereka yang mengerti bahwa keajaiban adalah hasil kerja keras akan memahami bahwa tidak ada sesuatu yang benar-benar mustahil, selama ada usaha yang pantang menyerah.
Maka, daripada menunggu keajaiban, lebih bijak jika kita menjadi penciptanya. Keajaiban yang sesungguhnya bukanlah sesuatu yang jatuh dari langit, tetapi sesuatu yang kita bangun dengan tangan sendiri.