Oleh M Yamin Nasution-Pemerhati Hukum
“…Aan dit strand verdrongen zich de volken, en daaglen nieuwe meesters over ‘t meer, Zij volgen zich, gelijk in ‘t zwerk de Wolken, De telg des grond allen was nooit zijn heer”
“… Di pantai ini bangsa-bangsa berkerumun, dan penguasa baru atas danau menyingsing, mereka (masyarakat Indonesia) mengikuti mereka, seperti awan di langit, menikmati bagian atas tanah saja tidak pernah menjadi tuannya”
– Julien Wolbers, 1867
Ungakapan diatas adalah ungkapan seorang sejarawan Belanda yang tak pernah datang ke Jawa, namun tersentuh hatinya melihat kondisi masyarakat Jawa secara khusus, Indonesia secara umum atas perlakuan-perlakuan yang di terima, masyarakat Jawa (Indonesia) sejak dahulu hanya di kuasai oleh orang-orang yang hanya ingin mengambil mengambil kekayaan alam Indonesia, hanya sedikit masyarakat Jawa (Indonesia) yang menikmati hasil bumi tersebut, yaitu mereka para raja-raja dan sultan, masyarakat hanya memiliki bagian atas tanah saja, namun tidak menikmati hasil buminya secara utuh. Suatu hari Julien Wolbers diminta pendapatnya tentang sistem apa yang paling tepat diberlakukan di Jawa, ia menjawab: buatlah sistem aturan yang tegas dan adil, karena keadilan akan meninggikan suatu bangsa “gerechtigheid verhoogt een volk,” keterangan tersebut dapat dilihat JAVA Moet Rechtvaarding Bestuurd Worden, 1867.
Warga negara Indonesia terdiri dari beberapa warga keturunan Thiong Hoa, India, dan Arab, selain dari warga bumi putra (pribumi asli) itu sendiri, secara umum bagi Penjajah Belanda (Hindia Belanda) ketiga kelompok ini disebut Vreende Oonsterleng. Namun ada yang membedakan ketiga kelompok ini atas kecintaan terhadap masyarakat pribumi, yaitu warga turunan Arab, selain sama-sama ikut berjuang untuk kemerdekaan, warga keturunan Arab seperti yang disebutkan oleh Sir. Thomas Stamford Rafles dalam History of Java, 1817 (Java atau Jawa adalah sebutan yang diberikan Eropa pada nusantara) adalah orang kaya yang tidak memiliki budak pribumi, seperti warga eropa dan Thiong Hoa yang menjadikan warga bumi putra sebagai budak-budak, hal ini di karena kan Warga Arab yang datang ke Indonesia sejak abad 7 umumnya adalah beragama islam dengan tujuan awal penyebaran agama islam (Mohammedan atau pengikut Nabi Muhammad SAW), sebab dalam islam memperbudak manusia adalah di larang.
Di Semarang juga demikian, Gijsbertus van Sandwijk, 1865 dalam “Een Uitstapje naar Semarang en omstreken” menceritakan pengalamannya saat di minta melakukan penelitian untuk wilayah jawa tengah, ia mengatakan kala itu wilayah ini telah di dominasi oleh Cina dan Arab selain dari warga pribumi sendiri. Di saat pesta umumnya masyarakat jawa berbusana pakaian pendek dan lebar, atau celana panjang hingga lutut, di atasnya di kenakan kain sarung yang sebagian besar merupakan rok wanita, di gantung di pinggul dan jatuh di bawah lutut. Setiap orang jawa mengenakan sarung, namun yang miskin dan malang dari katun warna warni, yang kaya dari sutra mahal bersulam emas, kancing terbuat dari permata, dan tak ketinggalan keris serta sutra-sutra lain sebagai pembungkus tubuh pangeran-pangeran, tampilan yang paling menakjubkan dan bermartabat, bagaimana pun, tidak diragukan lagi dibuat oleh kepala orang Arab yang hadir dalam pakaian nasional (busana gamis islami) dengan sorban putih atau hijau yang bersinar.
Tulisan ini dimaksudkan untuk memberikan edukasi bahwa, sejak lama masyarakat keturunan Arab telah banyak membaur dengan masyarakat Indonesia secara umum, telah berjuang bersama, bahkan telah membawa dan menyumbang peradaban berbaiknya yaitu Agama islam. Islam anti perbudakan, islam anti ketidakadilan, islam anti perbedaan kasta dalam kehidupan manusia, dan islam dibawa oleh warga negara Arab. Dan masyarakat agar tidak terpecah belah dalam menyambut pesta rakyat (pemilu 2024) mendatang, yang sengaja di hembuskan oleh suara-suara yang tidak memahami sejarah berdirinya negeri ini, bahkan tak jarang ucapan-ucapan miring yang di tujukan pada warga negara keturunan Arab oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab, menghalalkan segala cara demi kekuasaan dan kepentingan kemewahan busana pribadi, kemewahan pribadi dan kemewahan kelompok semata, masyarakat harus menolak sifat-sifat feodal yang memperbudak warga yang notabene satu rasnya sendiri. Masyarakat harus mampu menguasai tanah berikut isinya, masyarakat harus mendapatkan keadilan, namun hanya dengan kejujuran, keadilan datang, dengan keadilan marwah bangsa tinggi.