Ada sebuah ide yang telah merasuki jiwa-jiwa manusia, menjual janji akan sebuah tempat yang lebih baik daripada tempat yang kita pijak sekarang. Sebuah janji tentang “surga” yang entah bagaimana menggoda kita untuk merasakan ketidakpuasan terhadap kenyataan ini. Seakan-akan, di luar sana, di tempat lain, ada kehidupan yang lebih layak, lebih damai, lebih sempurna. Ide ini, dengan segala kemegahannya, telah menjadi salah satu kejahatan terbesar yang pernah dilakukan terhadap kemanusiaan. Ia bukan hanya menggerogoti jiwa, tetapi juga cara hidup kita sehari-hari.
Mengapa ide itu begitu berbahaya? Karena dengan menjanjikan tempat yang lebih baik, ia mengaburkan keberadaan kita saat ini. Kita menjadi lupa bahwa tempat yang kita huni ini, dengan segala kekurangannya, adalah satu-satunya tempat yang nyata. Segala perjuangan, rasa sakit, dan kebahagiaan kita terjalin dalam kain kehidupan yang tak bisa terpisah begitu saja oleh angan-angan tentang tempat yang lebih indah di luar sana. Seperti yang pernah dikatakan oleh Rainer Maria Rilke, “Tidak ada tempat lain selain di sini, tidak ada waktu lain selain sekarang.” Ini adalah panggilan untuk menghargai setiap momen dalam kehidupan kita, bukan membiarkan diri terperangkap dalam impian tentang masa depan yang tidak pernah datang.
Namun, kejahatan ini jauh lebih mendalam daripada sekadar impian tentang dunia yang lebih baik. Karena dalam setiap impian yang dijual kepada kita, ada pengkhianatan terhadap kenyataan yang ada. Ada perasaan terasing yang tumbuh, seolah kita hanya bisa hidup dengan menunggu atau menginginkan tempat yang lebih baik, tempat yang tidak pernah ada. Kita lupa bahwa tempat ini, dengan segala pergulatan dan realitasnya, adalah surga yang seharusnya kita rawat.
Ini adalah paradoks kehidupan: tempat ini, yang sering kita anggap sebagai neraka, sejatinya adalah surga yang tersembunyi di balik keterlibatan kita yang sepenuh hati. Seperti yang pernah disampaikan oleh Albert Einstein, “Hidup ini seperti mengendarai sepeda. Untuk menjaga keseimbangan, kamu harus terus bergerak.” Jika setiap langkah yang kita ambil, setiap keputusan yang kita buat, dilakukan dengan keterlibatan yang penuh dan kesadaran yang dalam, maka hidup ini bisa menjadi surga yang kita cari-cari. Namun, jika kita melakukannya dengan penolakan, dengan setengah hati, atau sekadar menjalani kehidupan karena terpaksa, maka dunia ini akan terasa seperti neraka yang tak pernah berakhir.
Keindahan hidup ini bukan terletak pada tempat yang jauh atau dunia lain, tetapi pada bagaimana kita menjalani hari ini. Jika setiap pekerjaan, setiap interaksi, setiap detik yang kita lewati, dilakoni dengan sepenuh hati, dengan niat yang tulus, maka kita akan menemukan kedamaian dalam setiap langkah. Namun, jika kita menjalani hidup ini dengan rasa enggan, dengan keinginan untuk melarikan diri dari kenyataan, maka kita akan terperangkap dalam siksaan batin yang tiada henti.
Jadi, bukankah sudah saatnya kita berhenti memimpikan tempat yang lebih baik dan mulai merawat surga yang ada di depan mata? Surga itu bukanlah tempat lain, bukan kehidupan yang lebih baik di luar sana, tetapi ini adalah kehidupan yang kita jalani dengan sepenuh hati, dengan keterlibatan penuh, dengan rasa syukur yang tak pernah henti. Ini adalah surga yang ada dalam setiap tindakan kita, dalam setiap pemikiran kita, dalam setiap keinginan untuk membuat dunia ini menjadi lebih baik.
Seperti kata Lao Tzu, “Jika kamu ingin berubah dunia, ubahlah dirimu sendiri.” Ini adalah kehidupan yang harus kita hadapi dengan penuh kesadaran dan penghayatan. Karena, pada akhirnya, kehidupan yang kita jalani hari ini adalah satu-satunya tempat yang benar-benar kita miliki. Maka, jika kita ingin melihat surga, kita hanya perlu melihat dengan mata hati, dengan keterlibatan penuh dalam setiap detik yang ada. Dan saat itu, kita akan menyadari bahwa surga itu bukan tempat lain, tetapi di sini, dalam kehidupan kita yang kita jalani dengan penuh kesungguhan.








