Suatu hari, seorang ustadz menghampiriku. Matanya tajam, penuh prasangka.
“Saya dengar Anda sudah murtad,” cetusnya.
Aku diam, hanya mengangkat alis, memberi ruang bagi kalimatnya meluncur lebih jauh.
“Kamu kelak tempatnya di neraka,” tukasnya, seolah neraka itu rumahnya, seolah ia telah melihat daftar nama yang tertulis di api kekal.
Aku tersenyum. Senyum kecil yang tak ia mengerti. Sebab menurut pendeta, ustadz itu pun akan masuk neraka. Ya, karena ia tidak punya iman Kristen.
Lalu, aku berpikir. Jika semua orang yang tak sepaham dijanjikan api, lalu siapa yang tersisa di surga?
Mungkin malaikat-malaikat pun akan saling menunjuk, mencurigai sayap sesamanya. Mungkin Tuhan lelah mendengar klaim-klaim manusia tentang siapa yang berhak atas ampunan-Nya.
Kita semua adalah anak-anak kesesatan di mata orang yang berbeda keyakinan. Kita semua, bagi sebagian orang, telah terbakar sebelum sempat tersulut api.
Jika benar begitu, neraka bukanlah sesuatu yang menanti kita di akhirat. Kita sudah berada di dalamnya.
Di bumi ini, di antara hasrat menghakimi dan batas-batas keyakinan yang memisahkan, kita telah menciptakan neraka bagi satu sama lain.
Bukankah api paling membakar adalah caci maki, prasangka, dan kebencian yang menjalar di antara manusia?
Aku kembali tersenyum.
Sebab barangkali, mereka yang mengaku penghuni surga justru adalah arsitek neraka yang sesungguhnya.