Oleh M Yamin Nasution-Pemerhati Hukum
Setiap agama harus menganggap agama lain adalah kafir, hal ini menunjukkan keyakinannya bahwa agama yang di anutnya akan menyelamatkan dirinya untuk kehidupan kekal abadi setelah kematian, dan sebagai guide line dalam kehidupan yang adil (Raymond Smullyan, 2013).
Istilah kafir adalah istilah umum dan biasa dalam konsep kehidupan setiap agama dalam bernegara, bahkan istilah kafir yang digunakan dalam Bahasa Inggris memiliki makna lebih keras yaitu “Heaten” (kafir atau pembenci), sedangkan istilah kafir dalam konsep Islam memiliki arti “Menutup diri atas”.
Tulisan ini tidak sekedar berbicara tentang kehidupan Islam, Kristen, Katholik, Hinduisme, dll dalam ranah individual namun politik konstitusional. Individual dan politik adalah kehidupan dua indra yang harus aktif di setiap negara.
Keyakinannya terhadap Tuhan menuntut dirinya untuk selalu menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, kejujuran, bukan sifat parsialistik dan matrealistik di balik agama.
Dalam Budak Kafir versus Penguasa Kristen “Heaten Slave Versus Christiani Rules” mengatakan bahwa: “Ummat Kristeni berbeda dengan penganut agama lain di sekitar mereka. Mereka menganggap kata “Kristen” sebagai hak mereka dalam pengertian politis, bukan personal (Elizabeth Wheeler Andrew & Kathrine C. Bushnell, 2020).
Lebih lanjut disebutkan bahwa: Perwakilan resmi negara kristen telah pergi ke Hong Kong dan Singapore, dan ditemukan disana, karena keburukan sosial mereka, mengembangkan dan membiarkan sebuah sistem perbudakan dirumah-rumah pelacuran, perbudakan dirumah tangga seolah-olah berlindung dibawah pemerintahan.
Di Singapore, perbudakan kuli-kuli kasar, budak rumah tangga, dan pelaku tak terhormat pelacuran, juga dikelola oleh pejabat-pejabat resmi.
Konstitusi Indonesia
Hukum Konstitusi atau di Indonesia disebut UUD adalah produk asli penjajah, Inggris yang menjajah masyarakat Indian Amerika Serikat. Hukum ini dibuat begitu menarik, halus, dan menggoda, sekaligus memiliki sifat fatal.
Hukum Konstitusi (dalam istilah Belanda dan Jerman Grund Gesetz), perintah pada hukum ini bersifat hukum moral, hukum etika, atau hukum yang di landaskan pada sifat moral setiap orang, (Johann Gotlieb Fitche, 2018) umumnya dengan bahasa abstrak dan halus.
Sifat halus memiliki daya tarik, merayu, dan menggoda yang luar biasa, namun memiliki dampak fatal dikarenakan kalimat abstrak dan sifat sosiologis yang dapat di artikan dan dirubah oleh pemangku kekuasaan (Neil MacCormick, 1994).
Salah satu contoh hukum dalam UUD-NRI 1945 Adalah Pasal 33, tentang kekayaan alam yang di kuasai negara seutuhnya untuk kepentingan rakyat. Turunan Pasal ini, lebih dominan diartikan untuk kepentingan rakyat, namun kerterlibatan masyarakat dalam pengelolaan kekayaan alam daerah, dan kebijakan ekonomi pemerintah dari hasil alam sangat minim berpihak pada rakyat.
Contoh lain, berkaitan dengan Putusan MK No 90 PUU XXI Tahun 2023 tentang batasan usia, sifat sosiologis membuat hakim dapat Mengartikan tafsir hukum sesuai UU yang di inginkan berdasarkan subjektivitas dan keserakahan pribadi.
Ajaran Teori Hukum Murni “Hans Kelsen’s Pure Theory of Law” yang dianut Indonesia (Hirarki Perundang-Undangan) melarang sifat subjektif dan serakah dalam penafsiran hukum ini. (Lars Vink, 2007).
Bila masyarakat menyadari berdasarkan kejujuran intelektual dan spiritual bahwa, konstitusi adalah sarana hukum positive yang dibuat seolah-olah menjadi kitab suci dalam bernegara.
Pada dasarnya konsep yang dibuat oleh penjajah-penjabat barat terdahulu dalam menjauhkan masyarakat dari konsep moral teologis, menjauhkan manusia dari nilai nilai-nilai Agama.
Hukum ini dibutuhkan oleh penjajah dalam melahirkan penjahat penjahat baru dalam bernegara dan dalam menciptakan perbudakan berbudakan baru.
Penguasa dapat merubah sesuai kebutuhan penguasa itu sendiri dengan dalil kepentingan rakyat. Bayangkan, bila konsep kitab suci teologi yang menjadi dasar hukum dalam bergama, maka tidak satupun kekuasaan dapat merubahnya.
Seperti yang disebutkan pada bagian awal, di Indonesia sendiri, bagaimana sikap Gereja, Mesjid, Wihara, dan petinggi ormas suci atas perbudakan-perbudakan dengan nama lain TKW dan TKI yang di kelola oleh pemerintah.
Bagaimana sikap kelompok teologi dalam melihat pencurian kekayaan alam, kemiskinan, ketidakadilan yang besar, penegakan hukum yang buruk, korupsi besar – besaran.
Bagaimana sikap moral Politik Petinggi Kristiani, Islam, Katholik, Hinduisme, Buddhism, dan lainnya, atas kejahatan manipulasi pemilu, pemimpin yang lahir dari kecurangan, adakah landasan teologi hidup dalam jiwa dalam mencari pemimpin, atau sekedar Matrealisme dan kelompok semata.
Islam melarang kejahatan-kejahatan dilakukan dan islam merintahkan untuk menegakkan keadilan, sekecil-kecilnya dengan berdo’a dan bicara(QS. Ar-Rahman, 7,8,9), namun Jokowi tidak melarang Agama untuk dikaitkan dengan politik, sebab dia tidak meneladani tentang konsep Tuhan.