Memahami Tuhan sering kali membawa manusia pada kebingungan. Dalam Al-Quran, berbagai ayat menyampaikan sifat, perintah, dan larangan dari Tuhan, tetapi seolah-olah setiap penjelasan membawa manusia lebih dekat sekaligus memperlihatkan betapa jauhnya hakikat Tuhan dari jangkauan pemahaman manusia. Kebingungan ini, pada intinya, bukanlah kelemahan, melainkan tanda bahwa Tuhan itu melampaui apa yang bisa dipahami manusia.
Larangan Memikirkan Dzat Allah
Dalam sebuah riwayat disebutkan, “Jangan kau pikirkan tentang Dzat-Ku—niscaya kamu tidak akan bertemu.” Ini adalah pengingat tegas bahwa Dzat Allah tidak dapat dicapai oleh pikiran manusia. Akal, yang terbatas, tidak akan mampu mencakup yang tidak terbatas. Tuhan, sebagai Pencipta segala sesuatu, berada di luar konsep ruang, waktu, dan dimensi yang kita pahami. Ketika manusia mencoba membayangkan atau mengkonseptualisasikan Tuhan, ia akan jatuh dalam kesalahan karena membatasi yang tak terbatas.
Namun, ini bukan berarti manusia dilarang merenungkan tanda-tanda keberadaan Allah. Dalam Al-Quran, kita sering diajak untuk melihat ciptaan-Nya sebagai manifestasi dari kebesaran-Nya. Dengan merenungi alam semesta, manusia dapat memahami bahwa di balik keteraturan dan keindahan ada Sang Pencipta yang Maha Kuasa.
Seruan kepada Ketakwaan
Al-Quran juga mengarahkan manusia untuk bertindak dengan kesadaran ketuhanan melalui dua ayat yang berbeda:
- “Ya ayyuhal-ladzina amanu, ittaqu Allah” (Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah).
- “Ya ayyuhannasu, ittaqu rabbakum” (Wahai manusia, bertakwalah kepada Tuhan kalian).
Perbedaan kata “Allah” dan “Rabbakum” dalam dua seruan ini memiliki makna mendalam. Seruan pertama ditujukan kepada orang-orang beriman yang telah menerima Allah sebagai Tuhan mereka. Mereka diajak untuk memperkokoh iman dan ketakwaan kepada Allah sebagai Zat yang disembah. Seruan kedua, lebih umum, mengingatkan semua manusia tentang tanggung jawab mereka kepada Tuhan sebagai Pencipta dan Pemelihara.
Melalui seruan ini, Al-Quran menunjukkan hubungan Tuhan dengan makhluk-Nya dalam dua dimensi: hubungan khusus (personal) dan hubungan universal (penciptaan).
Tuhan dalam Sifat-Sifat-Nya
Ketika larangan untuk memikirkan Dzat Allah diterapkan, Al-Quran memberikan jalan lain untuk mengenal Tuhan melalui Asmaul Husna. Sifat-sifat seperti Ar-Rahman (Maha Pengasih), Al-Adl (Maha Adil), dan Al-Alim (Maha Mengetahui) membantu manusia untuk memahami aspek-aspek Tuhan dalam kehidupan. Dengan merenungkan sifat-sifat ini, manusia diajak untuk mendekat kepada Tuhan tanpa melanggar batas pemahaman tentang Dzat-Nya.
“Aku seperti yang kau lihat”
Dalam hadits qudsi disebutkan bahwa Allah berfirman, “Aku seperti yang kau sangka tentang Aku.” Pernyataan ini sering menimbulkan perdebatan. Apakah ini berarti Tuhan berubah-ubah sesuai dengan persepsi manusia? Jawabannya adalah tidak. Pernyataan ini menggarisbawahi pentingnya keimanan manusia terhadap Allah. Jika manusia percaya bahwa Allah adalah Maha Pengampun, maka ia akan menemukan pengampunan Allah. Sebaliknya, jika manusia menganggap Allah itu jauh dan tidak peduli, maka hubungan spiritualnya dengan Tuhan pun akan terganggu.
Kebingungan yang Mengarahkan kepada Kedekatan
Kebingungan tentang Tuhan sebenarnya adalah bentuk kesadaran spiritual. Ia menunjukkan bahwa manusia memahami keterbatasannya di hadapan Yang Maha Besar. Dalam kebingungan ini, manusia diajak untuk tidak mengandalkan akalnya semata, tetapi juga membuka hatinya untuk menerima kehadiran Tuhan melalui keimanan dan ketakwaan.
Seperti Al-Quran mengajarkan, Tuhan adalah dekat: “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat.” (QS Al-Baqarah: 186). Kebingungan adalah langkah pertama menuju pemahaman bahwa Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata atau dipahami oleh akal, tetapi dapat dirasakan melalui iman yang tulus.
Pada akhirnya, kebingungan ini adalah tanda bahwa manusia berada di jalan pencarian yang benar. Sebab, Tuhan memang tidak dapat ditangkap oleh pikiran, tetapi Dia selalu hadir bagi mereka yang mencari-Nya dengan hati yang ikhlas.