Mukadimah
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya di antara tanda kesempurnaan iman seseorang ditunjukkan dengan kebagusan akhlak dan sikap lemah lembut pada keluarga.” (HR. Tirmidzi, no. 2612 dan Ahmad, 2: 47. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini dha’if).
Hadis ini, meskipun dianggap dha’if oleh sebagian ulama, tetapi memiliki makna yang sangat dalam. Iman bukan sekadar pengakuan, tetapi harus terwujud dalam sikap dan perilaku. Namun, iman juga bukan sesuatu yang statis, ia bisa bertambah dan berkurang, bahkan hilang. Maka, bagaimana agar iman tetap terjaga?
Iman yang Bisa Hilang
Iman, dalam banyak kasus, sering diajarkan tanpa dasar yang kuat. Orang diajak untuk percaya tanpa diberikan pemahaman yang cukup. Contohnya, seseorang diajarkan bahwa di suatu pohon ada setan. Ia percaya karena diajarkan demikian. Namun, seiring waktu, ketika ia tidak pernah melihat atau merasakan kehadiran setan tersebut, keyakinannya pun memudar dan akhirnya hilang. Inilah bentuk keimanan yang rapuh—iman yang dibangun tanpa dasar pemahaman yang kuat.
Ketika iman hanya bersandar pada dogma tanpa logika yang dapat dicerna, maka wajar jika suatu saat ia luntur. Banyak orang yang tadinya beriman lalu murtad bukan karena godaan dunia semata, tetapi karena mereka tidak pernah benar-benar memahami apa yang mereka percayai. Keimanan yang hanya berdasarkan warisan dan kebiasaan cenderung lebih lemah dibanding keimanan yang dibangun dengan pemahaman.
Membangun Iman dengan Pemahaman
Jika kita ingin iman tetap kuat dan tidak hilang, maka cara mengajarkannya harus diubah. Tidak bisa lagi iman diajarkan dengan cara “harus percaya” tanpa memberikan alasan yang dapat diterima akal. Sebaliknya, iman harus dijelaskan dengan metode yang pasti, seperti dalam ilmu pasti, misalnya matematika.
Jika seseorang diajarkan bahwa 1+1 = 2 dan memahami mengapa demikian, maka sampai kapan pun, meskipun malaikat yang mengajarkan bahwa 1+1 = 3, ia tidak akan mudah goyah. Sebab, ia tidak hanya percaya, tetapi mengerti dan memahami. Begitu pula dalam menjelaskan iman. Jika Tuhan diajarkan hanya sebagai dogma, maka ia bisa dipertanyakan dan akhirnya diragukan. Namun, jika Tuhan dijelaskan dengan logika yang bisa dimengerti, maka keimanan akan lebih kokoh.
Memahami, Bukan Sekadar Percaya
Iman seharusnya bukan sekadar kepercayaan buta, tetapi sesuatu yang dapat dipahami dengan akal sehat. Jika seseorang memahami keesaan Tuhan, memahami kebijaksanaan-Nya, memahami bagaimana hukum alam bekerja sebagai bukti keberadaan-Nya, maka keimanan tidak akan mudah goyah. Dalam hal ini, metode pengajaran iman harus berubah dari sekadar “percaya” menjadi “memahami”.
Iman yang kuat adalah iman yang memiliki dasar pemahaman yang logis. Jika seseorang hanya percaya karena diajarkan demikian, maka ia bisa dengan mudah berubah ketika berhadapan dengan dalil lain yang tampak lebih masuk akal. Namun, jika seseorang memahami, maka keimanannya akan tetap kokoh meskipun dihadapkan pada berbagai argumen yang mencoba meruntuhkannya.
Kesimpulan
Iman bukanlah sesuatu yang statis; ia bisa bertambah dan berkurang, bahkan hilang. Penyebab utama hilangnya iman adalah karena iman diajarkan tanpa dasar pemahaman yang kuat. Oleh karena itu, metode pengajaran iman harus berubah dari sekadar ” believe – percaya” menjadi “understand – memahami”. Dengan demikian, iman akan tetap terjaga dan tidak mudah hilang. Hadis dhaif yang dikutip di awal, bagi saya, justru memiliki makna yang sangat benar dan relevan. Bahwa iman yang sempurna adalah iman yang diwujudkan dalam akhlak dan pemahaman yang mendalam, bukan sekadar pengakuan tanpa dasar.