Apa itu hidup, jika bukan perjalanan memahami diri sendiri? Setiap langkah, setiap detik, bukan tentang dunia di luar sana—tetapi tentang dunia yang bersemayam di dalam. Hidup bukan tentang menggenggam, bukan tentang menata masa depan yang tak pernah bisa kita miliki. Ia tentang kini. Ya, detik ini. Nafas ini. Satu-satunya kepastian.
Kita sering menyangka bahwa anak panah kehidupan adalah keberhasilan, pencapaian, cinta yang abadi. Tapi sesungguhnya, anak panah itu bernama penderitaan. Ia melesat dari busur harapan. Kita mencintai dan melekat. Kita mengira, semakin erat kita menggenggam, semakin utuh kebahagiaan kita. Tapi justru dalam genggaman itulah, luka tumbuh.
Keterikatan adalah ladang bagi harapan. Dan harapan, betapa indah dan juga kejam ia bekerja. Kita berharap kekasih kita membalas dengan cinta yang sama, berharap anak kita tumbuh seperti yang kita inginkan, berharap dunia memperlakukan kita adil. Tapi dunia tidak tunduk pada harapan. Ketika kenyataan tak selaras, kita kecewa. Dan dari kecewa, lahir derita. Harapan mencuri kebahagiaan. Ia mencuri saat ini, dan menggantinya dengan angan-angan.
Padahal, tak ada yang abadi. Segala yang terlahir, akan berubah. Meja di ruang tamu akan lapuk. Foto di dinding akan pudar. Wajah yang kita cintai hari ini, akan menua. Satu-satunya yang abadi hanyalah perubahan itu sendiri. Dan dalam kesadaran akan kefanaan inilah, kita menemukan kedamaian yang aneh, yang sunyi, namun dalam.
Cinta dan keterikatan adalah dua hal yang sering disangka satu. Tapi mereka berbeda. Cinta adalah memberi tanpa menuntut kembali. Ia seperti matahari yang bersinar tanpa memilih kepada siapa sinarnya jatuh. Tapi keterikatan? Ia ingin memiliki. Ia ingin dikembalikan. Ia ingin dikontrol. Saat kita mencintai tanpa terikat, kita merayakan kebebasan orang lain untuk tumbuh. Tapi saat kita mencintai dengan terikat, kita mengukur cinta dengan apa yang kita terima, bukan dengan apa yang kita beri.
Aku mencintai orang tuaku, tapi aku berlatih untuk tidak melekat pada mereka. Aku belajar bahwa mereka bukan milikku. Mereka bukan pemberi kebahagiaanku. Aku adalah pemberi kasih untuk mereka, bukan peminta balasan. Sama halnya dengan setiap orang yang kutemui di jalan hidup ini. Mereka datang. Mereka berbagi. Lalu pergi. Dan aku belajar merelakan, bukan melupakan.
Hidup ini, seperti pohon. Ia tumbuh tanpa tergesa. Ia meneduhkan siapa saja tanpa pamrih. Daunnya gugur tanpa tangis. Dan buahnya, bukan untuk dirinya, tetapi untuk yang datang dan pergi. Maka jadilah pohon. Diam dalam keteguhan. Memberi dalam keheningan. Mengakar ke dalam bumi, dan menggapai langit dengan kesadaran bahwa tidak ada yang perlu digenggam, karena semua adalah pinjaman waktu.
Dan kini, waktuku menjelang. Menantang hari esok tanpa membawa beban kemarin. Aku siap menjadi pohon bagi musim berikutnya. Siap untuk belajar, memberi, dan melepas. Lagi dan lagi.
Apakah kamu juga siap untuk menjadi pohon dalam hidupmu?