Seorang pria Arab yang kaya raya pergi untuk belajar di Jerman. Setelah sebulan menimba ilmu, ia menulis surat kepada ayahnya:
“Ayah, Berlin adalah kota yang sangat indah, dan orang-orang di sini sangat ramah padaku. Tapi aku merasa malu setiap kali aku tiba di universitas dengan Range Rover-ku, sementara para profesor yang hebat datang ke kampus dengan kereta.”
Tidak lama setelah itu, ia menerima surat balasan dari ayahnya dengan cek senilai sepuluh juta dolar yang terlampir. Surat itu berbunyi:
“Belikan dirimu sebuah kereta, Nak, jangan mempermalukan kita di depan orang asing.”
**Pelajaran di Balik Humor: Kesederhanaan yang Lebih Berarti**
Mungkin kita tertawa mendengar kisah ini karena respons ayahnya yang kocak dan tak terduga. Namun, cerita ini juga mengajarkan kita tentang perspektif dalam hidup.
Bagi sang ayah, kekayaan adalah simbol kebanggaan dan status sosial, sehingga ia berpikir membeli kereta pribadi adalah solusi yang tepat agar anaknya tidak merasa rendah diri. Tetapi bagi sang anak, di balik kemewahan yang ia miliki, tersimpan rasa malu karena menyadari pentingnya kesederhanaan dan kehormatan para profesor yang memilih naik kereta.
Pesan dari cerita ini adalah: kekayaan materi bukanlah segalanya. Seringkali, yang paling berharga dalam hidup adalah kebijaksanaan untuk menghargai kesederhanaan, kerendahan hati, dan integritas orang lain. Tidak selalu tentang memiliki yang paling mahal, tetapi tentang bagaimana kita menempatkan diri di tengah orang lain dengan cara yang membuat kita dihargai bukan karena apa yang kita punya, tetapi karena siapa diri kita sebenarnya.
Jadi, dalam hidup, penting untuk mengukur nilai diri bukan dari apa yang kita miliki, tetapi dari bagaimana kita menghargai orang lain dan dunia di sekitar kita.