Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), mantan Presiden Republik Indonesia, telah lama dikenal sebagai sosok yang tegas dan berprinsip dalam politik. Semasa menjabat sebagai presiden, SBY membangun tatanan kenegaraan yang dia yakini mampu membawa Indonesia ke arah yang lebih baik. Dalam bukunya yang berjudul “President Can Do No Wrong,” SBY mengungkapkan pandangannya tentang peran presiden yang ideal, sebuah pandangan yang seolah menyindir Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang kerap dianggapnya mengabaikan prinsip-prinsip tersebut.
Perbedaan pandangan ini menimbulkan berbagai kontroversi dan ketegangan antara SBY dan Jokowi. Namun, dinamika politik yang terus berkembang membawa kejutan tersendiri. Partai Demokrat, yang dipimpin oleh SBY, kini bergabung dengan Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang mendukung pemerintahan Jokowi. Keputusan ini menimbulkan banyak tanda tanya dan spekulasi di kalangan publik dan pengamat politik.
Kepala Pemerintahan “Might Be Wrong”, Kepala Negara “Can Do No Wrong”: Konsep dan Kontroversi di Era Jokowi
Ketika Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menulis buku “President Can Do No Wrong,” banyak yang melihatnya sebagai bentuk kekesalan terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi), yang dianggap SBY sering mengabaikan tatanan kenegaraan yang telah dibangun sebelumnya. Memahami konsep “Can Do No Wrong” dan “Might Be Wrong” dalam sistem pemerintahan sangatlah penting, terutama dalam melihat bagaimana peran Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan sering kali tumpang tindih di Indonesia.
Peran Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan
Di banyak negara, termasuk Indonesia, presiden memiliki dua peran utama: sebagai Kepala Negara dan sebagai Kepala Pemerintahan. Kedua peran ini memiliki fungsi dan tanggung jawab yang berbeda:
1. **Presiden sebagai Kepala Negara:**
– **Simbol Kedaulatan dan Persatuan:** Sebagai Kepala Negara, presiden bertindak sebagai simbol kedaulatan, persatuan, dan kehormatan negara. Tindakan presiden dalam kapasitas ini sering dilindungi oleh prinsip imunitas, yang menyatakan bahwa keputusan dan tindakan simbolis tidak dapat disalahkan secara hukum. Prinsip ini dikenal dengan istilah “The King Can Do No Wrong” dalam monarki dan diterapkan dengan sedikit modifikasi dalam republik.
– **Kewenangan Seremonial:** Kepala Negara menjalankan fungsi-fungsi seremonial, seperti meresmikan bangunan publik, menerima duta besar negara lain, dan menghadiri acara kenegaraan. Dalam kapasitas ini, presiden diharapkan bertindak di atas kepentingan politik sehari-hari.
2. **Presiden sebagai Kepala Pemerintahan:**
– **Pengambil Keputusan Eksekutif:** Sebagai Kepala Pemerintahan, presiden bertanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan pemerintah, termasuk pengambilan keputusan yang berdampak langsung pada masyarakat. Dalam kapasitas ini, presiden dapat diawasi, dikritik, dan bahkan disalahkan jika kebijakannya dinilai merugikan.
– **Implementasi Kebijakan:** Kepala Pemerintahan mengarahkan jalannya pemerintahan sehari-hari, dari pengelolaan anggaran hingga implementasi undang-undang. Tanggung jawab ini membuat presiden rentan terhadap kritik, terutama jika kebijakan yang diambil kontroversial atau tidak efektif.
Jokowi dan Pemisahan Wewenang
Presiden Joko Widodo, sejak awal masa jabatannya, sering kali dianggap tidak memisahkan dengan jelas kapan ia bertindak sebagai Kepala Negara dan kapan sebagai Kepala Pemerintahan. Hal ini menimbulkan berbagai kontroversi dan kritik dari berbagai pihak, termasuk dari mantan Presiden SBY.
1. **Kritik dan Kontroversi:**
– **Kebijakan Eksekutif:** Kebijakan-kebijakan eksekutif yang diambil oleh Jokowi, seperti proyek infrastruktur besar-besaran dan penanganan pandemi COVID-19, sering kali menimbulkan perdebatan. Sebagai Kepala Pemerintahan, keputusan-keputusan ini adalah bagian dari tanggung jawabnya, dan oleh karena itu, ia terbuka untuk kritik dan pengawasan. Dalam kapasitas ini, jelas bahwa “President Might Be Wrong.”
– **Tindakan Seremonial yang Bermuatan Politik:** Tindakan-tindakan seremonial yang kadang disertai dengan keputusan politik, seperti pengangkatan pejabat atau pemberian amnesti, menunjukkan bagaimana Jokowi mungkin tidak selalu memisahkan perannya sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Dalam situasi ini, prinsip “Can Do No Wrong” menjadi kabur karena tindakan tersebut memiliki implikasi politik yang jelas.
2. **Kebingungan Peran:**
– **Penanganan Simbolisme dan Kebijakan:** Jokowi kadang terlihat menggunakan simbolisme kenegaraan untuk mendukung kebijakan pemerintahannya, yang membuat publik bingung apakah ia bertindak sebagai Kepala Negara yang seharusnya netral atau sebagai Kepala Pemerintahan yang aktif.
Pentingnya Pemahaman Peran yang Jelas
Memahami perbedaan antara Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan bukan hanya penting untuk presiden, tetapi juga untuk rakyat dan pejabat pemerintah lainnya. Prinsip “President Can Do No Wrong” harus diterapkan dalam konteks yang tepat, yaitu ketika presiden bertindak sebagai simbol negara yang bersifat seremonial dan non-politik. Sementara itu, “President Might Be Wrong” berlaku ketika presiden membuat keputusan eksekutif yang berdampak pada kehidupan sehari-hari masyarakat dan dapat diawasi serta dikritik.
Kesimpulan
Dinamika politik dan pemerintahan di Indonesia menunjukkan pentingnya pemisahan yang jelas antara peran Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Presiden Jokowi, dalam banyak hal, mungkin telah mengaburkan garis pemisah ini, menyebabkan kebingungan dan kritik. Bagi masa depan demokrasi Indonesia, penting untuk memperkuat pemahaman dan penerapan konsep ini, memastikan bahwa presiden dapat menjalankan perannya dengan tepat sesuai dengan konteks yang berlaku. Dalam hal ini, prinsip “President Can Do No Wrong” dan “President Might Be Wrong” harus diaplikasikan secara bijak dan tepat, demi menjaga integritas dan efisiensi pemerintahan.