Di negeri ini, segala sesuatu bisa dibuat tiruannya. Ada ijazah palsu untuk mereka yang ingin mendadak pintar tanpa belajar. Ada emas palsu yang berkilau di pasar, menipu mata yang tak terlatih. Minyak goreng palsu beredar di dapur-dapur rakyat, mencemari tubuh tanpa mereka sadari. Bahkan bahan bakar yang seharusnya menggerakkan negeri ini, dicampur dengan zat-zat yang mencurangi mesin dan mengikis umur kendaraan.
Di pusat kekuasaan, seorang wakil rakyat bisa saja berdiri tegak di podium, meyakinkan bahwa dirinya punya ilmu dari sekolah yang ternyata tak pernah ada. Seorang pemimpin bisa menyandang gelar doktor cum laude tanpa pernah melewati jerih payah penelitian. Di republik ini, gelar bukanlah tanda pencapaian, melainkan sekadar ornamen yang bisa dibeli dan ditempelkan di nama siapa pun yang berduit.
Sertifikat tanah, hutan, dan laut tak lagi berbicara tentang kepemilikan yang sah, melainkan hasil manipulasi, permainan administrasi yang menguntungkan segelintir orang. Hutan yang dulu rimbun kini ditebangi, tanah rakyat berpindah tangan, dan laut bukan lagi milik nelayan yang bergantung padanya. Semua sudah menjadi bagian dari skenario besar, di mana kepalsuan dipelihara demi kepentingan mereka yang berkuasa.
Di tengah semua itu, lahirlah ustad palsu. Mereka bukan ulama yang membawa kedamaian dan hikmah, melainkan pedagang agama yang menjual ayat demi kepentingan pribadi. Dengan retorika manis, mereka menyesatkan umat, menggadaikan nilai-nilai suci demi ambisi duniawi. Agama yang seharusnya menjadi cahaya malah dikaburkan oleh tipu daya mereka yang berpenampilan saleh, namun berhati busuk.
Republik ini dibangun di atas kepalsuan demi kepalsuan. Rakyat hanya bisa bertanya: di mana kejujuran berada? Apakah masih ada tempat bagi kebenaran di negeri yang segala sesuatunya bisa direkayasa?
Di tengah riuh tepuk tangan para pejabat yang saling memuji, di antara piagam penghargaan yang diberikan tanpa makna, dan di antara pidato-pidato yang penuh janji tanpa realisasi, republik ini berjalan dalam absurditasnya sendiri. Kebenaran menjadi ilusi, kejujuran dianggap kelemahan, dan integritas hanyalah kata hampa yang diucapkan tanpa keyakinan.
Namun, harapan tetap ada. Mungkin tidak dari mereka yang berdiri di menara gading, tetapi dari mereka yang masih percaya bahwa kejujuran bukanlah kemewahan, melainkan keharusan. Republik palsu ini bisa berubah, asalkan masih ada yang berani berkata: cukup sudah.
By Ali Syarief