Aku percaya, hidup—meski tampaknya bergerak liar, penuh detour, dan gemuruh distraksi—sebetulnya diam-diam taat pada satu garis. Garis itu tak selalu lurus. Ia meliuk, kadang menanjak, kadang seperti kembali ke titik awal. Tapi garis itu selalu menuju ke sesuatu. Ke sebuah titik sampai.
Dan aku, dengan segala kesadaran yang kadang terlambat, mulai merasa bahwa semua yang kulakukan, semua aktivitas kecil dan besar, semua keputusan yang kuambil—dan bahkan yang kutunda—seolah diarahkan untuk satu maksud yang aku sendiri tak selalu tahu: sampai.
Sampai ke mana?
Mungkin aku tidak tahu. Atau pura-pura tidak tahu. Tapi barangkali bukan “tempat” yang penting, melainkan “kesampaian” itu sendiri: suatu keadaan yang membuat kita bisa berkata, “aku sudah di sini.” Suatu saat ketika napas terasa penuh, dan kosong dalam waktu yang bersamaan.
Ada orang yang hidupnya seperti jalan tol. Terang, rapi, dan penuh papan petunjuk. Ada pula yang seperti gang kecil—sempit, berkelok, dan tak ada dalam peta. Tapi apa pun bentuk jalannya, semua sedang menuju “sampai”.
Aku, seperti banyak dari kita, sering tersesat. Dalam keinginan. Dalam ketakutan. Dalam kegagalan yang tak bisa kuterangkan kepada siapa pun. Tapi bahkan saat tersesat pun, kaki ini tetap berjalan. Mungkin memang begitu cara dunia bekerja: kita tak harus paham arah untuk terus bergerak.
Setiap aktivitasku—menulis, berbicara, diam, mencintai, membenci, memaafkan, membangun, meruntuhkan—semuanya seperti disusun sebagai fragmen-fragmen kecil yang akan tersusun menjadi satu narasi panjang. Entah bagaimana, narasi itu mengantarku pada kelegaan, atau luka, atau keduanya.
Mereka bilang, hidup harus punya tujuan. Tapi tujuan itu sering kali berubah, kabur, atau bahkan lenyap. Maka aku belajar untuk tak terlalu terikat pada satu definisi tujuan. Aku tidak ingin terjebak dalam konsep “berhasil” yang ditentukan oleh orang lain, atau “gagal” yang hanya hitungan waktu.
Yang kupahami kini: semua ini adalah perjalanan mengantarku ke titik di mana aku bisa menjadi diriku—tanpa perlu membuktikan apa pun kepada siapa pun. Titik di mana aku bisa duduk, menengok ke belakang, dan tahu bahwa bahkan saat aku jatuh, itu pun adalah bagian dari pengantaran.
Barangkali, itulah “titik sampai” itu:
Bukan menaklukkan dunia, tapi memahami ke mana kita sebenarnya diarahkan.
Bukan memenangkan segala hal, tapi berdamai dengan kehilangan.
Bukan menjadi orang lain, tapi menjadi lebih dekat pada diri sendiri.
Dan ya, hari ini, saat aku menulis ini, aku percaya: semua aktivitasku—yang kulakukan dengan sadar, yang terjadi tanpa rencana, yang kusesali dan yang kusyukuri—telah, sedang, dan akan terus mengantarku ke titik itu.
Titik sampai.
Titik cukup.
Titik diam.







