Silahkan aku dibully, hina aku hingga puas.
Biarkan aku jadi bulan-bulanan amarah yang tak berbatas.
Tapi jangan seret aku ke jeruji, jangan sandera keluarga dalam ruang gelap tanpa harapan.
Karena aku tahu, di balik senyum yang kau pajang, ada ketakutan membayang.
Kau yang berdiri di puncak, menatap dari menara kuasa.
Namun engkau bungkam, enggan menggugat mereka yang kau tuduh menebar dusta.
Kenapa tak kau seret ke ranah hukum?
Apa kau takut pada cahaya kebenaran yang akan melumat bayang-bayang?
Hukum adalah panggung bagi yang percaya diri benar.
Di sana, semua topeng bisa terkoyak, semua sandiwara terhenti oleh fakta.
Namun, kau memilih diam, tak mau bermain di medan perang ini.
Apakah karena kau tahu, kebohongan yang kau sebut fitnah itu,
justru bercermin pada dirimu sendiri?
Ah, tapi aku tahu, diam bukan sekadar emas bagimu.
Diam adalah perlindungan dari badai yang kau ciptakan sendiri.
Kau tahu, hukum tak bisa kau belokkan seutuhnya.
Di sana, kebenaran tetap memiliki tempatnya, meski sempit dan hampir tersingkir.
Maka kau biarkan fitnah, hujatan, dan segala tuduhan itu melayang di udara.
Kau biarkan waktu memudarkan mereka,
karena membawanya ke hukum adalah risiko yang tak kau siap tanggung.
Silahkan aku dibully, karena aku tahu arti kebebasan sejati.
Namun, aku bertanya pada langit yang kelam:
Adakah pemimpin yang berani menuntut,
jika hatinya sendiri gentar pada bayang-bayang kebenaran?
Ini bukan soal menang atau kalah,
ini tentang keberanian berdiri dalam keadilan.
Namun, kau, pemimpin kami, memilih diam dalam senyap.
Seolah-olah semesta tahu,
bahwa keheninganmu adalah pengakuan yang tak pernah terucap.