Oleh M Yamin Nasution-Pemerhati Hukum
Sidang kasus tuduhan pencemaran nama baik yang di hadapi aktivis kontras Haris Azhar dan Fatia menunjukkan betapa rusaknya etika pejabat publik akhir-akhir ini, dan betapa rubuhnya dan kusam nya kehormatan penegakan hukum di negara yang notabene adalah negara hukum. Bagaimana tidak, setiap pejabat tinggi negara hanya di atur oleh hukum Konstitusi (UUD-NRI 1945) dan tipe hukum ini adalah hukum moral, Johann Gotlieb Fiche “Das System der Rechslehre” mengatakan: “Di tuntut ke hati-hatian dalam bersikap.
Tentunya, secara etika moral pejabat publik yang terpilih ter larang untuk berbisnis, tugas pejabat publik melayani masyarakatnya, tidak lain, bahkan hukum yang di lahir semata-mata untuk kepentingan rakyat, apabila seorang pejabat publik berbisnis di pastikan melanggar etika dan tentunya ada Conflict of Interest, Conflict of interest adalah pintu gerbang korupsi, secara umum dikenal kolusi dan nepotisme.
Haris Azhar dan Fatia di tuntut JPU dengan tuduhan pencemaran nama baik atau (ujaran kebencian), lagi dan lagi aturan ini harus menambah nista dan bodohnya citra negara demokrasi Pancasila. Sejak Abad kekuasaan Romawi kuno, model aturan hukum ini, sering di gunakan oleh penguasa yang bengis untuk menghancurkan orang-orang yang dia benci atau kelompok yang di anggap menghalangi kelancaran tujuan buruk penguasa itu sendiri.
Dahulu di Prancis, tepatnya Tahun 1643 Duc de Beaufort dan kelompoknya di tuduh telah memfitnah dan mencemarkan seorang Mentri Bengis Cardinal Iules Mazarin, bagaimana Mazarin telah mengatur, meminta Jaksa dan hakim agar menuntut dan menjatuhkan hukuman berat atas Beaufort, proses sidang kasus ini berlanjut hingga Mahkamah Agung, sebab Beaufort berhasil di tuntut oleh Jaksa dan di vonis oleh hakim yang tunduk pada kekuasaan Mentri Mazarin, namun saat di Mahkamah Agung, kasus Beaufort menjadi perbincangan hingga legislatif kala itu, dan Mahkamah Agung pada akhirnya membebaskan Beaufort. Hal berbeda di alami oleh Juliæ (Juliæ Crimen Majesti) di Romawi di mana ia harus menerima hukuman berat pengasingan atas tuduhan yang sama.
Prof. Dr. Alexander Brown dan Dr. Andriana Sinclair “The Politik of Hate Speech Law” mengatakan: “ujaran kebencian adalah permasalahan bahasa, penguasa dan yang dekat dengan kekuasaan dapat mengatakan bahwa seseorang telah memfitnah dan mencemarkan nama baik, di lain pihak mengatakan bahwa kekuasaan telah digunakan untuk menghukum, yang akhirnya aturan tersebut tidak menghasilkan kebaikan apa-pun dalam bernegara. Lebih lanjut dikatakan bahwa; salah penyebab lahirnya ujaran kebencian adalah tokoh politik termasuk penyelenggara negara yang tidak berhati-hati dalam bersikap.
Prof. Mr. A. Pinto “Themis : Verzameling van bijdragen tot de kennis van het publiek en privaat recht, 1850” tokoh hukum Belanda yang ikut dalam pembentukan KHUP Belanda mengatakan: “ dibutuhkan tiga syarat dalam pelaporan dan penuntutan atas pencemaran nama baik (dénonciation colomnieuse), yaitu formil, materiil, dan intelektual. Pelapor harus benar-benar benci terhadap ter lapor sebagai syarat formil dan materiil, sedangkan syarat ketiga adalah pelapor harus bodoh, bila ia memiliki intelektualitas maka ia cukup diam. Hal ini sejalan dengan Asas tunggal dalam hukum pembuktian yaitu actori imcumbit probatio, L. Frederico Weise “Affirmanti Incumbit Probatio, 1724” menerangkan bahwa : “kata probatio diambil dari dua dasar kata, Proba dan Probus. Proba artinya bukti sedangkan Probus artinya kejujuran yang bersifat moral, bukti-bukti yang dihadirkan harus berasal dari kejujuran moral, disebabkan saat itu pelapor benar-benar benci terhadap ter lapor sehingga kecerdasan bukan lagi subtansi baginya, dan dia layaknya hewan, dalam asas Latin disebut homo non elephabus, lux non est subtantia.
- Pinto sendiri membagi tiga hal tentang pencemaran nama baik (dénonciation colomnieuse) yang pertama pencemaran, kedua cemoohan, dan ketiga fitnah, dan hingga kini dalam KUHP Belanda juga masih sama dan dapat di temukan pada Pasal 266 Ayat (1), (2), dan Ayat (3) KUHP Belanda, kekeliruan Wamenkumham (Prof. Hiariej) dalam artikelnya Penghinaan dan Hukum Pidana, Kompas Kamis 7 Juli 2022 lalu mengatakan hanya dua.
Terlepas dari perbedaan, masyarakat berharap agar kasus di diberhentikan atau berikan hukuman percobaan, seperti yang dikatakan Alexander Brown dan Andriana Sinclair bahwa kasus ini membawa kebaikan sedikit pun bahkan, memperburuk harmonisasi, jika tidak ingin di kritik maka berhati-hatilah dalam bersikap. Selain itu masyarakat berharap agar Hakim benar-benar mempertimbangkan dengan penuh kejujuran, sebab Ultimum Remedium atau pemidanaan sebagai pilihan akhir adalah bentuk pesan moral dan spiritualitas dari asas Romawi bahwa kelak akan di dipertanggungjawabkan di akhirat atas tuntutan dan hukuman yang di jatuhkan, karena pidana sendiri menurut von Feuerbach adalah kejahatan eksekutif.