Dalam kesejukan malam yang sunyi, di ruangan gedung parlemen yang megah, terdapat pertemuan antara para politikus elit. Cahaya bulan menyapu ruangan dengan lembut, menciptakan suasana yang hening namun sarat dengan intrik dan kepentingan tersembunyi.
Mereka duduk di sekeliling meja bundar, setiap gerakan mereka diiringi oleh senyap yang menegangkan. Masing-masing politikus membawa agenda tersendiri, berusaha merangkai kata-kata manis yang mampu memikat pendukung mereka. Di mata publik, mereka adalah pahlawan, pembela keadilan dan kebenaran. Namun, di balik tirai politik, mereka hanyalah penari ulung yang mahir bersilat lidah untuk mengelebaui rakyat.
Tapi, di sudut ruangan, terdapat seorang politikus yang berbeda. Dia tidak tergoda oleh panggung kehormatan atau gemerlapnya kekuasaan. Namanya adalah Kuswandi, seorang politikus muda yang memiliki idealisme yang tinggi. Baginya, politik bukanlah sekadar ajang pertunjukan untuk memperoleh popularitas atau keuntungan pribadi. Baginya, politik adalah panggilan jiwa untuk berjuang demi kesejahteraan rakyat.
Dalam pertemuan itu, Kuswandi diam-diam memperhatikan perdebatan sengit antara para politikus lain. Mereka saling lempar tuduhan, berusaha menarik simpati publik dengan retorika yang menggoda. Tapi bagi Kuswandi, semua itu hanyalah sandiwara politik yang memalukan.
“Dunia ini butuh lebih dari sekadar politikus yang pandai bersilat lidah,” gumam Kuswandi dalam hati. “Negara ini memerlukan politikus pejuang rakyat, mereka yang sungguh-sungguh peduli dengan nasib bangsa dan tidak tergoda oleh rayuan kekuasaan.”
Tiba-tiba, perdebatan memuncak saat salah satu politikus senior mencoba menjelekkan lawan politiknya dengan serangkaian fitnah dan tuduhan palsu. Para politikus lain bersorak dan mengangguk setuju, seolah-olah mereka terhipnotis oleh kekuatan kata-kata.
Namun, Kuswandi tidak bisa diam. Dengan langkah mantap, dia melangkah ke tengah ruangan dan mengangkat suaranya dengan penuh keyakinan.
“Maafkan saya, para tuan dan nyonya,” ucap Kuswandi dengan tegas, suaranya memecah keheningan ruangan. “Tapi saya tidak bisa berdiam diri melihat permainan politik yang menjijikkan ini. Negara ini tidak memerlukan politikus yang pandai bersilat lidah. Negara ini memerlukan politikus yang berani berdiri tegak, memperjuangkan kebenaran, dan mendedikasikan dirinya untuk kesejahteraan rakyat.”
Para politikus lain terdiam, terkejut dengan keberanian Kuswandi. Mereka tidak terbiasa dengan suara kritik yang tegas di tengah-tengah keangkuhan politik. Namun, di antara sorot mata yang penuh kejutan, ada juga yang memandang Kuswandi dengan penuh hormat.
Dalam keheningan yang menggema, Kuswandi melanjutkan pidatonya dengan penuh semangat. Dia bercerita tentang visinya untuk sebuah negara yang adil dan sejahtera, tentang pentingnya memperjuangkan kepentingan rakyat daripada kepentingan pribadi.
Dengan kata-kata yang penuh inspirasi, Kuswandi mengajak para politikus lain untuk bersama-sama membangun masa depan yang lebih baik bagi negara mereka. Dia percaya bahwa hanya dengan kerja keras, integritas, dan dedikasi yang tulus, mereka bisa menjadi politikus yang sesungguhnya dibutuhkan oleh negara dan rakyatnya.
Di tengah sorak sorai dan tepuk tangan, Kuswandi menyadari bahwa perjuangannya belum selesai. Tapi dia tidak gentar, karena dia tahu bahwa setiap langkah kecil menuju kebenaran adalah sebuah kemenangan bagi keadilan. Dan dengan tekad yang bulat, dia siap melangkah maju untuk menjadi suara rakyat yang tidak terdengar dalam gemerlap politik yang seringkali membutakan.