Ada kalimat getir yang mengandung kebijaksanaan paling dalam: “Teruslah hidup – mau bagaimana lagi, sudah hidup?” Ia terdengar seperti keluhan, namun mengandung daya lenting yang nyaris tak terdefinisikan: semacam tekad diam-diam untuk bertahan, untuk terus ada, meski tanpa kejelasan arah, tanpa pelita harapan. Kalimat ini bukan sekadar ekspresi pasrah, melainkan sebuah pengakuan eksistensial atas fakta paling mendasar: kita sudah terlanjur dilemparkan ke dunia, dan karenanya, bertahan menjadi bentuk tertinggi dari keberanian.
Martin Heidegger menyebut pengalaman ini sebagai “Geworfenheit” — keadaan dilemparkan. Kita tidak memilih untuk dilahirkan, tidak memilih orang tua, bangsa, bahkan zaman tempat kita hidup. Kita hadir begitu saja, terlempar ke dunia dengan segala kompleksitasnya, dan dari situlah kehidupan bermula. Maka ketika seseorang berkata, “sudah hidup, ya mau bagaimana lagi?”, itu bukan sikap menyerah, tapi justru pengakuan akan tanggung jawab manusia yang paling mendasar: merawat keberadaannya, meskipun dunia tampak tak masuk akal.
Albert Camus menulis tentang absurditas: jurang antara hasrat manusia untuk menemukan makna dan sunyinya semesta yang tak menjawab. Namun, dalam absurditas itulah Camus menemukan kebebasan. Bahwa dengan mengakui absurditas, kita membebaskan diri dari ilusi. Dan dengan membebaskan diri, kita justru memilih untuk terus hidup—bukan karena hidup itu mudah, atau indah, tapi karena kita menolak untuk kalah oleh kehampaan.
Maka kalimat “teruslah hidup” menjadi semacam aksi kecil pemberontakan terhadap putus asa. Ia adalah bentuk sederhana dari stoisisme: menerima kenyataan tanpa kehilangan martabat. Dalam dunia yang memuja kesuksesan, kebahagiaan instan, dan pencapaian demi pencapaian, orang yang tetap hidup walau penuh luka adalah pahlawan sunyi. Ia tidak disebut di berita, tidak disanjung di atas panggung, tapi ia telah menunaikan sesuatu yang suci—melampaui penderitaan dan tetap berjalan.
“Teruslah hidup” juga bisa dibaca sebagai bentuk cinta. Cinta kepada diri sendiri, cinta kepada kehidupan, meski sering tak terlihat indah. Barangkali ini adalah cinta paling murni: mencintai sesuatu yang tidak selalu menyenangkan, tetapi tetap dipilih karena tanpanya, segalanya menjadi nihil.
Dan dalam hidup yang terus dijalani, kita menemukan bentuk-bentuk kecil harapan: secangkir kopi pagi, suara burung di jendela, atau pelukan anak di malam hari. Mereka bukan penyelesaian atas absurditas, bukan pula jaminan kebahagiaan, tapi penanda bahwa hidup, betapa pun beratnya, masih layak untuk dihayati.
Jadi, ya—teruslah hidup. Mau bagaimana lagi? Sudah hidup. Tapi justru karena sudah hidup, maka marilah kita hadapi dunia, bukan dengan harapan kosong, tapi dengan keberanian yang tenang: keberanian untuk tetap berjalan, walau tak selalu tahu ke mana, walau tak selalu tahu untuk apa.