Sambil duduk di teras, secangkir kopi hangat di tanganku, pikiran mulai melayang-layang, menyusuri sudut-sudut imajinasi yang liar. Di antara hiruk-pikuk politik dan kekuasaan, bayangan sosok Jokowi muncul.
“Atas nama demokrasi atau aji mumpung?” bisikku pada diri sendiri, sambil menatap gumpalan awan yang bergerak pelan. Aku membayangkan dia duduk di ruangannya, dikelilingi oleh lembaran-lembaran kertas yang penuh dengan keputusan dan strategi.
“Anak-anak saya kududukkan menjadi penguasa,” lanjutku, seolah berbicara dengan bayangannya. Adakah dia memikirkan masa depan bangsa, atau sekadar memperkuat dinasti? “Konco-konco pendukungku, kuberi jabatan yang basah-kuyup,” tambahku, membayangkan senyum puas di wajah para pendukungnya, yang kini menikmati manisnya kekuasaan.
Kopi yang kuminum terasa pahit, seakan mencerminkan kegelisahan di hatiku. “Lupakan orang mau ngomong apapun,” kataku dengan nada getir, “sebab kesempatan ini tidak akan terulang.” Apakah dia begitu pragmatis, atau hanya terbawa oleh arus kekuasaan yang begitu kuat?
Aku menatap cangkir kopi yang hampir kosong, merenungkan segala kemungkinan. Di balik setiap keputusan besar, ada alasan dan pertimbangan yang tak selalu terlihat. Apakah dia benar-benar memanfaatkan kesempatan, ataukah dia percaya bahwa jalan yang ditempuhnya adalah yang terbaik untuk negeri ini?
Dalam diam, aku menyadari bahwa tak ada jawaban yang mudah. Seperti kopi yang perlahan mendingin, pikiran-pikiran ini akan terus berkecamuk, mencari makna di balik setiap tindakan dan keputusan. Dengan satu tegukan terakhir, aku meletakkan cangkirku, meninggalkan renungan ini untuk esok hari, di mana pertanyaan-pertanyaan ini mungkin akan menemukan jawabannya.