“Love isn’t something you find. Love is something that finds you.”
– Loretta Young
Cinta itu, kata orang, mesti dicari. Dicari sampai ke negeri seberang, sampai menetes peluh dan air mata, sampai darah asmara ini tersedot habis ke pelosok sunyi. Maka tak heran kalau zaman sekarang banyak orang menjadikan cinta sebagai proyek, semacam tender terbuka. Ada yang sibuk memasang foto diri di aplikasi digital dengan senyum lima watt dan dagu yang menolak gravitasi. Ada pula yang menjadikan kopi susu dan senja sebagai mantra penggoda, seolah cinta bisa dipanggil seperti jin yang jinak.
Padahal, kalau kata Loretta Young – seorang aktris dari zaman ketika layar hitam putih masih cukup untuk membuat hati berwarna – cinta itu bukan soal mencari. Cinta adalah sesuatu yang mencari kita. Ia seperti maling yang tahu celah jendela mana yang tidak dipasang tralis. Tahu saat-saat kita lengah, tahu jam-jam di mana kita sedang sibuk menambal perasaan yang bocor.
Saya jadi ingat si Badrun – tukang cuci mobil di ujung gang. Ia bukan laki-laki romantis. Tidak punya playlist lagu cinta, tidak tahu siapa itu Taylor Swift, apalagi Pablo Neruda. Tapi suatu hari ia jatuh cinta juga. Bukan karena ia mencari. Tapi karena tiap pagi, si Mbak Indah penjual gorengan lewat di depan lapaknya sambil tersenyum dan memberi tahu: “Bakwan hari ini lebih renyah dari kemarin.”
Dan meledaklah cinta. Bukan karena rayuan atau pantun berima, tapi karena cinta memang makhluk aneh. Ia datang seperti angin sore yang menerbangkan kertas-kertas tagihan listrik dan menyisakan degup jantung tak menentu.
Cinta, kata saya dalam hati yang paling lelah, adalah kejadian. Ia bukan produk pemikiran. Ia bukan hasil riset SWOT atau analisis SWOT-SWAT-SAWOT yang biasa dibuat para konsultan hubungan yang kerap gagal dalam hubungannya sendiri. Cinta, lebih tepatnya, adalah makhluk. Kadang ia bersayap, kadang berkuku. Kadang menyapa dengan hangat, kadang datang sambil membawa cangkul dan menggali luka lama yang sudah kita tanami dengan bunga pura-pura bahagia.
Dulu saya kira cinta bisa diatur. Bisa dijadwalkan. Kalau kita sudah mapan, sudah punya rumah subsidi, sudah punya sepeda motor yang angsurannya tinggal dua kali lagi, maka cinta akan datang dengan sopan sambil mengucapkan salam. Tapi saya keliru. Ternyata cinta justru datang ketika saya baru bangkrut. Ketika saya baru putus dari pacar yang wajahnya seperti poster kafe kekinian, dan saya dalam posisi tidak ingin percaya siapa-siapa lagi, termasuk tukang parkir.
Dan dari situlah saya belajar: cinta itu datang bukan karena kita pantas. Tapi karena ia sendiri yang merasa waktunya sudah pas. Seperti hujan. Tak bisa kita panggil seenaknya. Tak bisa kita jadwalkan di kalender. Ia bisa datang di tengah pesta, bisa mampir ketika kita sedang duduk termenung di halte, bisa menyelinap lewat SMS pinjaman online yang ternyata salah kirim ke nomor kita.
Mahbub Djunaidi, almarhum wartawan yang lebih puitis dari penyair, mungkin akan berkata begini: “Cinta itu seperti kucing kampung. Ia datang sendiri, dan kalau sudah betah, ia akan tidur di beranda hatimu. Kau boleh usir, tapi malam berikutnya ia datang lagi. Karena dia tahu: ada kehangatan di situ.”
Dan saya percaya itu. Bahwa cinta tak bisa dikejar dengan terburu-buru. Sebab kalau dikejar, ia malah lari. Tapi kalau kita sibuk memperbaiki hidup, membenahi batin, merawat luka-luka lama, eh… dia datang sendiri. Dengan cara yang kerap tak masuk akal. Tapi justru itu yang membuatnya masuk hati.
Maka bersabarlah, wahai para pencari cinta. Jangan terlalu sibuk menyiapkan kado untuk orang yang belum tentu datang. Kadang, cinta itu seperti satpam malam – baru muncul ketika semua orang sudah tertidur. Dan ia akan mengetuk pintumu, pelan-pelan… lalu bilang, “Boleh saya numpang tinggal di sini?”
Dan bodohnya kita – kita selalu membuka pintu. Meski tahu, ia belum tentu membawa masa depan. Tapi begitulah cinta: ia tidak harus dimengerti. Cukup dirasa… dan diterima – walau kadang datang sambil menyeringai.
Selesai.