Oleh: Inong Rev
Di dunia yang sibuk mencari kepemilikan, cinta sejati justru lahir dari keikhlasan melepaskan. Kita terbiasa mengukur cinta dari seberapa lama seseorang tinggal, seberapa erat ia menggenggam, atau seberapa patuh ia berjalan di samping kita. Namun dalam kedewasaan yang sunyi, cinta punya ukuran lain—ia hadir bukan untuk mengikat, melainkan untuk merawat jiwa, meski dari kejauhan.
Kita tumbuh membawa luka. Sebagian diwariskan dari rumah yang dulu tak pernah benar-benar ramah. Sebagian lagi lahir dari pertemuan dengan jiwa-jiwa yang belum selesai dengan dirinya sendiri. Dan luka yang tak selesai, acap kali menular. Maka tak heran jika cinta pun kadang datang sebagai medan perang: penuh harapan yang saling menuntut, dan ketakutan yang saling mengikat.
Namun cinta sejati bukanlah medan juang untuk menaklukkan. Ia adalah ruang hening yang penuh penerimaan. Tempat seseorang tetap memilih mendoakan, meski tak lagi didoakan kembali. Tempat seseorang tetap menyayangi, meski sudah dilepas. Cinta yang tidak membutuhkan tepuk tangan. Cinta yang tidak mengharap pamrih.
Ada jiwa-jiwa yang hadir untuk singgah, bukan tinggal. Tapi singgah mereka bukan sia-sia. Mereka datang membawa pelajaran, memperlihatkan bayangan luka yang perlu kita sembuhkan, dan membuka pintu-pintu ke dalam diri yang selama ini kita tutup rapat. Mereka adalah cermin yang memantulkan bagian dari diri kita sendiri—yang perlu kita peluk, bukan kita hakimi.
Cinta yang dewasa tahu kapan harus berjuang, dan kapan harus berjalan pergi. Ia tahu bahwa mempertahankan sesuatu yang tak lagi sehat adalah bentuk lain dari keegoisan. Maka ia memilih pergi, tanpa menjelekkan. Ia memilih diam, tanpa membalas. Dan dalam diam itu, justru doa paling tulus melayang: semoga engkau bahagia, meski bukan bersamaku.
Kita tidak perlu memiliki untuk bisa mencintai. Seperti matahari yang tetap menerangi bumi, meski tak pernah memeluknya. Seperti hujan yang menyuburkan tanah, meski tak pernah tinggal lama. Cinta yang sejati tidak butuh status. Ia hanya butuh ruang untuk mengalirkan kasih.
Dan dalam melepas, kita belajar satu hal paling luhur dalam hidup: bahwa manusia tidak diciptakan untuk saling menguasai, melainkan saling merawat. Bahwa yang paling berharga bukanlah siapa yang menetap, melainkan siapa yang meninggalkan jejak kebaikan di jiwa kita. Dan bahwa melepaskan dengan doa adalah bentuk cinta yang paling berani dan paling murni.
Begitulah cinta seharusnya hadir—sebagai anugerah yang memuliakan, bukan alat untuk mengikat atau menundukkan. Sebab pada akhirnya, bukan siapa yang tinggal yang menentukan kualitas cinta kita, tapi siapa yang tetap kita doakan, meski tak lagi bisa kita peluk.
Cinta sejati tak pernah pergi. Ia hanya berganti bentuk: dari pelukan menjadi doa, dari kehadiran menjadi cahaya yang menyinari dari kejauhan. Dan di sanalah letak keabadiannya.