Munira News
  • News
    • Fusilat News
  • Politic
  • Opinion
  • Cross Cultural
  • Education
  • Fashion
  • Health
  • Destination
  • Global
  • Sponsor
No Result
View All Result
Munira News
  • News
    • Fusilat News
  • Politic
  • Opinion
  • Cross Cultural
  • Education
  • Fashion
  • Health
  • Destination
  • Global
  • Sponsor
No Result
View All Result
Munira News
No Result
View All Result
ADVERTISEMENT
Home Opinion

Mencintai Tanpa Memiliki, Melepas Tanpa Membenci

munira by munira
June 16, 2025
in Opinion
0
Share on FacebookShare on Twitter

Oleh: Inong Rev

Di dunia yang sibuk mencari kepemilikan, cinta sejati justru lahir dari keikhlasan melepaskan. Kita terbiasa mengukur cinta dari seberapa lama seseorang tinggal, seberapa erat ia menggenggam, atau seberapa patuh ia berjalan di samping kita. Namun dalam kedewasaan yang sunyi, cinta punya ukuran lain—ia hadir bukan untuk mengikat, melainkan untuk merawat jiwa, meski dari kejauhan.

Kita tumbuh membawa luka. Sebagian diwariskan dari rumah yang dulu tak pernah benar-benar ramah. Sebagian lagi lahir dari pertemuan dengan jiwa-jiwa yang belum selesai dengan dirinya sendiri. Dan luka yang tak selesai, acap kali menular. Maka tak heran jika cinta pun kadang datang sebagai medan perang: penuh harapan yang saling menuntut, dan ketakutan yang saling mengikat.

Namun cinta sejati bukanlah medan juang untuk menaklukkan. Ia adalah ruang hening yang penuh penerimaan. Tempat seseorang tetap memilih mendoakan, meski tak lagi didoakan kembali. Tempat seseorang tetap menyayangi, meski sudah dilepas. Cinta yang tidak membutuhkan tepuk tangan. Cinta yang tidak mengharap pamrih.

Ada jiwa-jiwa yang hadir untuk singgah, bukan tinggal. Tapi singgah mereka bukan sia-sia. Mereka datang membawa pelajaran, memperlihatkan bayangan luka yang perlu kita sembuhkan, dan membuka pintu-pintu ke dalam diri yang selama ini kita tutup rapat. Mereka adalah cermin yang memantulkan bagian dari diri kita sendiri—yang perlu kita peluk, bukan kita hakimi.

Cinta yang dewasa tahu kapan harus berjuang, dan kapan harus berjalan pergi. Ia tahu bahwa mempertahankan sesuatu yang tak lagi sehat adalah bentuk lain dari keegoisan. Maka ia memilih pergi, tanpa menjelekkan. Ia memilih diam, tanpa membalas. Dan dalam diam itu, justru doa paling tulus melayang: semoga engkau bahagia, meski bukan bersamaku.

Kita tidak perlu memiliki untuk bisa mencintai. Seperti matahari yang tetap menerangi bumi, meski tak pernah memeluknya. Seperti hujan yang menyuburkan tanah, meski tak pernah tinggal lama. Cinta yang sejati tidak butuh status. Ia hanya butuh ruang untuk mengalirkan kasih.

Dan dalam melepas, kita belajar satu hal paling luhur dalam hidup: bahwa manusia tidak diciptakan untuk saling menguasai, melainkan saling merawat. Bahwa yang paling berharga bukanlah siapa yang menetap, melainkan siapa yang meninggalkan jejak kebaikan di jiwa kita. Dan bahwa melepaskan dengan doa adalah bentuk cinta yang paling berani dan paling murni.

Begitulah cinta seharusnya hadir—sebagai anugerah yang memuliakan, bukan alat untuk mengikat atau menundukkan. Sebab pada akhirnya, bukan siapa yang tinggal yang menentukan kualitas cinta kita, tapi siapa yang tetap kita doakan, meski tak lagi bisa kita peluk.

Cinta sejati tak pernah pergi. Ia hanya berganti bentuk: dari pelukan menjadi doa, dari kehadiran menjadi cahaya yang menyinari dari kejauhan. Dan di sanalah letak keabadiannya.

Share this:

  • Facebook
  • X
ADVERTISEMENT
Previous Post

Sesal Itu Datang Saat Hening

Next Post

Tidak Ada yang Merugi

munira

munira

Related Posts

Merayakan Ulang Tahun: Antara Doa, Refleksi, dan Pemikiran Sempit

by munira
July 10, 2025
0

Di tengah derasnya arus modernitas, masih ada sebagian kalangan umat Islam yang menolak mentah-mentah perayaan ulang tahun. Bahkan, tak sedikit...

Semua Aktivitasku Diorientasikan untuk Mengantarku ke Titik Sampai

Semua Aktivitasku Diorientasikan untuk Mengantarku ke Titik Sampai

by munira
July 10, 2025
0

Aku percaya, hidup—meski tampaknya bergerak liar, penuh detour, dan gemuruh distraksi—sebetulnya diam-diam taat pada satu garis. Garis itu tak selalu...

Ketika Mekar Menjadi Revolusi yang Lembut

Ketika Mekar Menjadi Revolusi yang Lembut

by munira
July 4, 2025
0

Ada yang tumbuh diam-diam di kebun pagi itu. Sebuah bunga kecil, entah namanya apa, mekar begitu saja. Tak ada yang...

Mereka yang Hidup dalam Doa, dan Mereka yang Hanya Jadi Bangkai

Mereka yang Hidup dalam Doa, dan Mereka yang Hanya Jadi Bangkai

by munira
July 4, 2025
0

Ada orang yang hidupnya panjang, tapi jejaknya pendek. Ada pula yang usianya singkat, tapi langkahnya membekas jauh hingga ke masa...

Next Post

Tidak Ada yang Merugi

Puncak Segala Puncak: Sebuah Pendakian Spirituil ala Mang Philip

Trending News

JOKOWI DAPAT DIHUKUM MATI

JOKOWI DAPAT DIHUKUM MATI

August 24, 2024
Analisis Kemungkinan yang Terjadi pada Prabowo Subianto, Presiden Terpilih, dalam Konteks Hubungan dengan Jokowi

Analisis Kemungkinan yang Terjadi pada Prabowo Subianto, Presiden Terpilih, dalam Konteks Hubungan dengan Jokowi

July 6, 2024
Usia 70 Tahun Bukan Lanjut Usia – “Orang yang Beruntung”

Usia 70 Tahun Bukan Lanjut Usia – “Orang yang Beruntung”

June 30, 2024

Munira News

Munira
Cakrawala Dunia

Menu

  • About Us
  • ad
  • Home

Categories

  • Arts
  • Business
  • Crime
  • Cross Cultural
  • Destination
  • Education
  • Ekonomi
  • Environment
  • Fashion
  • Figure
  • Fiksi
  • Global
  • Health
  • Japan
  • Justice
  • News
  • Opinion
  • Politic
  • Science
  • Sponsor
  • Spritual
  • Technology
  • Uncategorized

Tags

Flap Barrier Swing Barrier

Recent Posts

  • Apa Itu Dosa Menurut Tuhan, Manusia, dan Agama?
  • Merayakan Ulang Tahun: Antara Doa, Refleksi, dan Pemikiran Sempit
  • News
  • Politic
  • Opinion
  • Cross Cultural
  • Education
  • Fashion
  • Health
  • Destination
  • Global
  • Sponsor

© 2023 Munira

No Result
View All Result
  • Home
  • News
  • Cross Cultural
  • Opinion
  • Politic
  • Global
  • Sponsor
  • Education
  • Fashion

© 2023 Munira