Dulu, setelah Bom Bali, seorang pendeta berdiri di hadapan para pemimpin dunia. Suaranya tenang, matanya teduh, namun kata-katanya menusuk nurani:
“Bali sudah kotor – mari kita sucikan.”
Tak ada amarah, tak ada tuduhan. Hanya panggilan bagi hati manusia, dan panggilan bagi bumi yang menanggung luka.
Kini, air datang. Dahsyat, liar, tanpa kompromi. Rumah-rumah rubuh, kendaraan hanyut, nyawa melayang. Sungai yang dulu menyejukkan, hutan yang dulu hijau, kini menjadi saksi ketidakseimbangan manusia dengan alam. Hindu menyebutnya karma kolektif; alam membalas setiap kelalaian, setiap noda yang menumpuk.
Dalam Islam, Allah mengingatkan:
“Idza ashibathum mushibatin fabima kasabta aidikum”
(QS. Asy-Syura [42]:30 – Apabila menimpa kamu suatu musibah, itu disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri).
Banjir ini bukan sekadar ujian; ia adalah cermin dari perbuatan kita sendiri—dosa, kelalaian, keserakahan, dan lupa pada keseimbangan.
Dalam ajaran Kristen pun tersirat pesan yang sama: bencana bukan kebetulan. Dunia yang Tuhan ciptakan baik, menjadi rapuh karena dosa dan pelanggaran manusia. Kesadaran, introspeksi, dan tindakan nyata—merawat alam, menolong sesama, memperbaiki diri—adalah jalan untuk memulihkan harmoni.
Bali, dengarlah bisikan ini: air dan tanah adalah bahasa Tuhan. Sungai, hutan, dan pantai berbicara dalam derasnya hujan dan derasnya arus. Tiga iman menuntun kita pada satu jawaban: introspeksi dan perbaikan diri, kepedulian pada lingkungan, solidaritas kepada sesama. Ritual Hindu, refleksi Islam, kasih dan tanggung jawab Kristen—semua menuntun pada tindakan nyata.
Bali sudah kotor. Kata sang pendeta kini bukan sekadar kata, tapi kenyataan yang membanjiri bumi dan hati manusia. Musibah datang dari tangan kita sendiri. Mari kita sucikan Bali—menyucikan alam, masyarakat, dan hati kita—sekarang, sebelum air kembali menuntut.