Padahal, berpikir adalah napas dari iman. Tanpa itu, religiusitas bisa menjadi sekadar seragam: dikenakan di luar, tapi kosong di dalam. Kita menyebut nama Tuhan, namun tak berani menanyakan, mengapa kita menyebut-Nya? Kita berdoa dengan kata-kata yang sama, namun jarang bertanya, apa yang sesungguhnya kita maksudkan?
Religiusitas yang hanya berhenti pada ritual akan mengeras. Ia menjadi kebiasaan kolektif yang diwariskan turun-temurun, tanpa digugat, tanpa digali. Keyakinan lalu berubah jadi formalisme, dan formalisme menjadi topeng. Manusia bisa terlihat saleh, tapi mungkin ia hanya mewarisi gerakan, bukan makna.
Di sinilah keberanian untuk berpikir menemukan tempatnya. Pertanyaan yang tulus—bahkan bila terasa mengganggu—bukanlah penghinaan terhadap iman. Justru itulah tanda bahwa kita sedang mencari Yang Maha Hidup. Sebab Tuhan tidak rapuh oleh pertanyaan manusia. Yang rapuh adalah kepercayaan kita sendiri, bila ia dibangun tanpa pijakan refleksi.
Religiusitas yang sejati tidak lahir dari ketakutan untuk berbeda, melainkan dari keberanian menempuh jalan sunyi: ketika seseorang memilih mendengarkan suara batinnya, meski tak sama dengan kebanyakan. Justru di situ, iman menjadi pengalaman personal yang intim, bukan sekadar gema dari kerumunan.
Bukankah para nabi sendiri datang dengan pertanyaan yang mengguncang keyakinan zamannya? Mereka menolak untuk sekadar mewarisi. Mereka melampaui tradisi, bahkan ketika itu berarti harus ditolak, diasingkan, atau dianiaya.
Maka religiusitas yang hidup adalah religiusitas yang terus menafsir. Ia bukan sekadar menjaga huruf, tapi menggali ruh. Ia bukan sekadar mengulang, tapi meresapi. Dan untuk itu, berpikir bukan ancaman, melainkan rahmat: ia menjaga iman dari menjadi fosil.