Ada sebuah pemandangan yang sederhana, namun sarat makna: tembok tua, rapuh, dengan permukaan kasar yang menandakan perjalanan panjang waktu. Di sela-selanya, tumbuh pohon bunga yang merekah, menghadirkan keindahan yang tak terduga.
Tembok tua itu adalah simbol dari kerasnya hidup, luka-luka yang membekas, dan segala keterbatasan yang membelenggu manusia. Ia merepresentasikan masa lalu: cobaan, kejatuhan, dan kelelahan yang mungkin membuat hidup terasa kaku dan tidak bersahabat. Namun, justru di dalam kekasaran dan keretakan itu, kehidupan menemukan jalan. Bunga tumbuh, mekar, dan menolak untuk tunduk pada keadaan yang keras.
Inilah paradoks kehidupan: di tengah kepahitan, masih ada ruang bagi keindahan. Di tengah kehancuran, masih ada kesempatan untuk lahir kembali. Seperti bunga yang mekar di sela-sela batu, manusia pun mampu menghadirkan cahaya di tengah kegelapan, jika ia tidak menyerah pada dinding-dinding nasib.
Kehidupan bukan tentang menghapus tembok kasar itu, melainkan bagaimana kita bisa tetap tumbuh bersamanya. Kita tidak bisa memilih medan hidup, tapi kita bisa memilih cara meresponsnya. Sebagaimana pepatah Jepang mengatakan, “Nana korobi, ya oki” — tujuh kali jatuh, delapan kali bangkit.
Tembok itu mengingatkan bahwa hidup adalah sejarah; bunga itu mengajarkan bahwa sejarah tidak pernah menutup kemungkinan untuk lahirnya harapan.
Seperti kata Rumi:
“The wound is the place where the Light enters you.”
(Luka adalah tempat di mana cahaya masuk ke dalam dirimu.)
Maka, jadilah bunga di tembok tua itu. Meski dunia keras dan penuh luka, tetaplah tumbuh, tetaplah mekar. Sebab, keindahan sejati bukanlah saat kita berada di tanah yang subur, melainkan saat kita bisa hidup di tempat yang paling keras sekalipun, tanpa kehilangan jati diri kita.