Islam lahir dari wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Sumber ajarannya jelas: Al-Qur’an dan hadis. Tetapi, siapa yang bisa menyangkal kalau dalam perjalanan sejarahnya, Islam jadi “berwarna-warni”? Di satu tempat orang mengangkat tangan tinggi saat takbir, di tempat lain cukup sebatas dada. Ada yang membaca doa qunut, ada yang tidak. Ada yang merayakan maulid Nabi dengan meriah, ada pula yang menganggapnya bid’ah.
Pertanyaannya, mengapa satu ajaran bisa melahirkan begitu banyak wajah?
Hadis dan Perbedaan Mazhab
Jawabannya banyak berawal dari hadis. Hadis adalah penjelasan hidup Nabi, tetapi ketika dikodifikasi, ditafsirkan, dan dipraktikkan, muncullah perbedaan cara pandang. Dari sinilah lahir empat mazhab besar dalam fikih Sunni—Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali—serta mazhab-mazhab lainnya.
Perbedaan metodologi para ulama itulah yang akhirnya membentuk tradisi keberislaman yang berbeda-beda. Di Nusantara, misalnya, Syafi’i mendominasi sehingga doa qunut, tahlilan, dan kenduri menjadi tradisi. Di Saudi, mazhab Hanbali yang tekstual lebih memengaruhi wajah Islam: sederhana, ketat, dan apa adanya.
Dari Hukum ke Budaya
Perbedaan tafsir hadis tidak berhenti di kitab kuning. Ia menetes ke kehidupan sehari-hari, lalu menjadi budaya. Tradisi keagamaan, cara berpakaian, bahkan cara masyarakat merayakan hari besar Islam, semuanya berakar pada perbedaan itu. Maka, yang kita sebut “Islam Indonesia” atau “Islam Turki” sebenarnya adalah hasil perjumpaan antara teks wahyu dan konteks budaya.
Lalu, Tuhan Berpihak pada Siapa?
Di sini muncul pertanyaan nakal tapi wajar: kalau begitu, Tuhan berpihak pada kelompok yang mana? Apakah Tuhan lebih suka Muslim Syafi’i ketimbang Hanafi? Apakah yang tidak berqunut jadi kurang sah di mata Tuhan?
Jawaban Al-Qur’an tegas: “Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa.” Artinya, Tuhan tidak peduli bendera mazhab, melainkan hati yang ikhlas dan amal yang tulus.
Mengapa Tuhan Membiarkan Perbedaan?
Lalu, kenapa Tuhan membiarkan manusia berbeda-beda? Karena justru di sanalah rahmatnya. Kalau semua dipaksa satu warna, Islam mungkin tidak bisa hidup di banyak tempat. Dengan keragaman, Islam bisa membumi di Mesir, Afrika, Eropa, atau Jawa.
Masalahnya muncul ketika perbedaan tafsir dan mazhab dijadikan alat politik. Sejarah penuh dengan kisah bagaimana perbedaan fikih atau teologi dijadikan senjata kekuasaan. Padahal, kalau mau jujur, perbedaan itu seharusnya menjadi ruang belajar, bukan medan perang.
Penutup
Jadi, Islam memang satu, tapi wajahnya banyak. Ia seperti cahaya putih yang ketika melewati prisma budaya manusia, pecah jadi pelangi. Yang diuji dari kita bukanlah keseragaman, melainkan bagaimana menyikapi perbedaan dengan lapang dada. Karena pada akhirnya, Tuhan tidak menanyakan kita ikut mazhab mana, tetapi apakah kita benar-benar jujur dalam beriman.