Oleh : Ali Syarief – Penulis
Terlalu lantang, bila tulisan ini disampaikan sebagai nasihat kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Karena itu saya perhalus dengan majas “saran” saja. Mudah-mudahan bermafaat. Pasalnya, mengamati dari serangkaian pidato Ketum AHY dan Poster Iklan-iklan digital yang disiarkan oleh PD – menurut hemat saya – bertentangan dengan fatsun system presidential yang sedang kita anut.
Mari kita buat simulasi seperti ini. Seandainya pada Pemilu 24 nanti, Partai Demokrat menang telak. Kursi di DPR RI, dikuasai 90%. Tetapi yang menjadi Presiden adalah Paslon 01 Anies~Muhaimin. Apakah program Partai “kesejateraan” itu bisa dilaksanakan seperti yang dimaksud dalam program resmi PD?
Atau bila kemudian ada 30 Menteri ex-Partai Demokrat, dalam cabinet Prabowo~Gibran. Pertanyaan yang sama Apakah program Partai “kesejahteraan” itu bisa dilaksanakan seperti yang dimaksud dalam program yang diiklankan dalam Poster-Poster digital seperti dibawah ini?
Diskursus ini untuk menegaskan majas fungsi partai dalam system presidential. Saya masih melihat, nampaknya masih banyak yang salah faham. Bahwa dalam system presidential, ruhnya adalah orang memilih orang. Tidak memilih Parpol (Orang memilih Parpol terjadi dalam system parlementer).
Jadi yang harus dipastikan adalah, “Anggota DPR mewakili konstituen atau daerah pemilihan mereka. Mereka berkomunikasi dengan masyarakat, mendengarkan aspirasi, dan menyampaikan pandangan serta kebutuhan konstituen ke dalam proses legislasi”.
Fatsunya adalah “kedudukan seorang anggota DPR RI, adalah mewakili dirinya, tidak mewakili partainya”. Harus dibedakan dengan system Parlementer – yaitu kedudukannya mewakili Parpol yang mengusungnya.
Catatan, adalah aneh ada dibentuk fraksi parpol di DPR dalam system Presidential, dimana rakyat tidak memilih parpol.
Jadi kampanye pileg dalam system presidential adalah “mayakinkan konsituen bahwa caleg-calegnya akan menjadi wakil rakyat yang kompeten sebagai pejuang penyalur aspirasi pemilihnya”. Bukan mengkampanyekan program partai, seperti yang dilakukan oleh Partai Demokrat saat ini.
Tugas selanjutnya, yang melekat kepada anggota dewan adalah fungsi legislasi. Disektor ini memang menjadi dilematis antara kemanpuan personalnya dalam bidang yuridis, dengan keperluan dasar seseorang piawai dalam merumuskan kerangka UU. Jauh sampai berkemampuan bias membuat legal drafting. Anggota DPR berperan dalam proses pembuatan undang-undang. Mereka dapat mengusulkan, membahas, dan memberikan persetujuan terhadap rancangan undang-undang yang diajukan.
Fungsi lain adalah Anggota DPR memiliki tugas untuk melakukan pengawasan terhadap pemerintah atau eksekutif. Mereka dapat melakukan interpelasi, pengajuan pertanyaan, dan mengadakan rapat-rapat untuk menilai kinerja pemerintah. Ini bukan mengoposisi. Dalam system presidential tidak dikenal “Oposisi dan Koalisi”.
Pengawasan yang dimaksud dalam system presidential, memastikan program kerja presiden (kontrak social) yang sudah dilegitimasi menjadi UU oleh DPR, dapat dijalankan oleh exectutive. Jadi kritik, check and balances dalam koridor itu.
Anggota DPR didistribusikan dan terlibat dalam berbagai komisi dan badan-badan khusus yang dibentuk untuk menangani isu-isu tertentu. Mereka berkontribusi dalam penyelidikan, pembahasan, dan pengembangan kebijakan di berbagai bidang. Disinit tugas partai perekrut memastikan anggotanya yang terpilih memiliki bobot dan komptensi yang tinggi.
Integritas seorang anggota DPR juga berani melakukan tugasnya, yang memiliki hak untuk mengajukan pertanyaan kepada pemerintah dan dapat menggunakan hak interpelasi untuk menguji dan menyelidiki tindakan pemerintah yang dianggap kontroversial atau meragukan.
Kapan kita akan memperbaiki system yang buruk ini? Ini jauh lebih penting bagi PD daripada soal program-program kerja partai itu. Pengalaman pahit saat terjadi dispute antara Koalisi perubahan dengan PD – gagalnya Agus Harimukti Yudhoyono menjadi cawapres lalu bersetubuh dengan koalisi Indonesia Maju.