Manusia hidup dalam jejaring kompleks antara pengalaman, pengamatan, dan interaksi sosial. Keyakinan, baik agama maupun ideologi, jarang lahir dalam ruang hampa. Seringkali, apa yang diyakini seseorang bukan hasil pemikiran rasional mendalam, melainkan pantulan dari lingkungannya—keluarga, teman, komunitas, atau budaya yang ia masuki sejak dini.
Pragmatisme mengajarkan bahwa kebenaran, dalam banyak kasus, adalah apa yang bekerja bagi individu dalam konteks sosialnya. Ketika banyak aliran agama diyakini orang, kepercayaan itu jarang diperoleh melalui bukti empiris atau logika yang universal. Ia hadir karena seseorang tumbuh dalam lingkungan yang memberi rasa aman, diterima, dan “benar” jika mengikuti ajaran itu. Lingkungan itu menjadi filter pengalaman: yang dianggap benar adalah yang didukung dan diulang oleh komunitasnya.
Hal ini tidak selalu berarti salah. Kebenaran yang lahir dari lingkungan bisa membawa rasa stabilitas, identitas, dan orientasi moral. Namun, ia juga menunjukkan keterbatasan rasionalitas manusia. Keyakinan yang diterima secara sosial sering lebih kuat daripada yang dibangun melalui analisis kritis. Kita menyebut ini sebagai kebenaran pragmatis, yang berfungsi untuk bertahan dan menyesuaikan diri, bukan untuk menembus esensi objektif.
Ironinya, manusia bisa memegang keyakinan yang berbeda, bahkan bertentangan, namun masing-masing merasa “benar” karena lingkungannya mendukungnya. Di sinilah pragmatisme menekankan fleksibilitas rasionalitas: rasio bukanlah hakim absolut, melainkan alat untuk menyesuaikan diri dengan dunia sosial dan emosional yang kompleks.
Akhirnya, memahami keyakinan manusia berarti melihat bukan hanya logikanya, tetapi juga jaringan sosial yang menopangnya. Lingkungan memberi warna, emosi memberi intensitas, dan akal sering kali mengikuti—bukan memimpin. Dalam dunia yang penuh pluralitas, kita sadar bahwa “benar” bukan hanya soal bukti, tetapi soal konteks dan fungsi dalam kehidupan manusia.