Ketika nafas terakhir dilepaskan, manusia tidak benar-benar hilang. Tubuh yang ditinggalkan jiwa hanyalah sebuah gugus unsur alam: karbon, kalsium, fosfor, besi, dan mineral lain yang sejak awal telah dipinjam dari bumi. Maka, kematian bukanlah akhir, melainkan kepulangan—sebuah perjalanan kembali ke rahim ibu bumi.
Secara ilmiah, tubuh mulai melebur. Mikroba-mikroba tak kasat mata menjadi arsitek penghancuran, mengurai jaringan menjadi molekul sederhana. Karbon yang dulu memberi energi kini kembali ke udara sebagai napas bagi tumbuhan. Fosfor dari tulang meresap ke tanah, menyuburkan akar-akar yang mencari makanan. Nitrogen yang pernah mengalir dalam darah larut menjadi nutrisi bagi biji yang menunggu tumbuh. Bahkan partikel besi yang dulu mewarnai darah merah, kelak kembali menjadi mineral dalam bumi.
Namun, di balik mekanisme biologis ini, tersimpan kebijaksanaan filosofis. Bahwa tubuh manusia, yang selama hidup kita banggakan, hanyalah bahan baku sementara. Kita bukan tuan atas alam, melainkan hanya percikan kecil dalam lingkaran besar kehidupan. Ambisi, kekuasaan, dan harta yang kita kumpulkan, pada akhirnya tidak lebih dari lapisan debu yang ikut larut bersama tanah.
Kematian, dalam pandangan ini, adalah proses transformasi. Seperti daun yang gugur lalu menjadi humus, manusia pun menjadi makanan bagi kehidupan baru. Mungkin tubuh kita melahirkan bunga liar di tepi jalan, mungkin menjadi energi bagi pohon yang rindang, atau sekadar butir mineral yang larut dalam air hujan. Kita tetap hadir, meski dalam bentuk yang berbeda.
Di sinilah rahasia keabadian tersingkap. Bukan keabadian yang dijanjikan sebagai jiwa abadi di luar sana, melainkan keabadian materi—perjalanan tanpa henti unsur-unsur tubuh yang berpindah bentuk, dari manusia menjadi tanah, dari tanah menjadi tumbuhan, dari tumbuhan menjadi hewan, lalu kembali lagi ke manusia.
Manusia, pada akhirnya, adalah mineral yang sedang menunggu giliran untuk pulang.