By Ali Syarief
Berita mengenai Presiden Joko Widodo yang memberikan ruang bagi prajurit TNI dan anggota Polri untuk mengisi jabatan aparatur sipil negara (ASN) memunculkan perbincangan yang mengingatkan kita pada era Orde Baru (Orba) di Indonesia. Era Orba, yang dipimpin oleh Presiden Soeharto, juga dikenal dengan campur tangan militer dalam urusan sipil dan politik.
Perspektif Positif:
- Kesetaraan dan Keseimbangan: Langkah Presiden Jokowi untuk memberikan kesempatan bagi prajurit TNI dan anggota Polri untuk mengisi jabatan ASN menunjukkan adanya upaya untuk menciptakan kesetaraan dan keseimbangan antara militer dan sipil dalam pemerintahan. Ini merupakan langkah positif menuju demokratisasi dan reformasi birokrasi.
- Kesempatan Karier: Kebijakan ini memberikan kesempatan bagi prajurit TNI dan anggota Polri untuk mengembangkan karier mereka di luar ranah militer atau kepolisian. Hal ini dapat memperluas wawasan dan pengalaman mereka serta meningkatkan profesionalisme dalam berbagai bidang pemerintahan.
- Efisiensi Pemerintahan: Dengan memanfaatkan tenaga dari prajurit TNI dan anggota Polri yang memiliki pengalaman dan disiplin kerja yang tinggi, pemerintah dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam menjalankan berbagai program dan kegiatan pemerintahan.
Perspektif Negatif:
- Intervensi Militer dalam Urusan Sipil: Keterlibatan militer dalam jabatan sipil dapat membawa risiko terjadinya intervensi militer dalam urusan politik dan pemerintahan. Hal ini dapat mengancam prinsip demokrasi dan supremasi sipil serta membuka peluang untuk terjadinya otoritarianisme.
- Kehilangan Independensi Birokrasi: Dengan adanya pengisian jabatan ASN oleh prajurit TNI dan anggota Polri, ada potensi kehilangan independensi dan netralitas birokrasi. Hal ini dapat mengganggu proses pengambilan keputusan yang objektif dan berdasarkan kepentingan publik.
- Korupsi dan Penyalahgunaan Kekuasaan: Keterlibatan militer dalam jabatan sipil juga dapat meningkatkan risiko terjadinya korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Militer yang terbiasa dengan hierarki dan kepatuhan bisa menghadapi tantangan dalam beradaptasi dengan budaya kerja sipil yang lebih terbuka dan transparan.
Dalam konteks era Orde Baru, langkah seperti ini mungkin akan dipandang sebagai pembuktian dominasi militer dalam urusan sipil dan politik. Meskipun tujuannya mungkin untuk meningkatkan kinerja pemerintah, tetapi risiko terhadap demokrasi dan hak asasi manusia juga perlu diperhitungkan dengan cermat. Sejarah telah mengajarkan bahwa campur tangan militer dalam urusan sipil dapat membawa konsekuensi yang merugikan bagi pembangunan demokrasi dan kebebasan sipil. Oleh karena itu, langkah-langkah ini harus diawasi dengan ketat dan dievaluasi secara berkala untuk memastikan bahwa prinsip-prinsip demokrasi dan supremasi sipil tetap terjaga.
Potret Sejarah Era ORBA
Dwi fungsi ABRI, atau Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, merupakan konsep yang telah lama menjadi fokus perdebatan dan perhatian dalam sejarah Indonesia. Konsep ini mengacu pada peran ganda ABRI sebagai alat pertahanan negara dan juga sebagai instrumen politik dalam kehidupan politik Indonesia. Untuk mengulasnya secara lebih mendalam, mari kita bahas baik dan buruknya dwi fungsi ABRI.
Aspek Positif dari Dwi Fungsi ABRI:
- Stabilitas Keamanan: Dwi fungsi ABRI dianggap dapat memberikan stabilitas keamanan dan ketertiban dalam negeri. Keberadaan ABRI memungkinkan negara untuk menghadapi ancaman dari dalam maupun luar dengan lebih efektif.
- Pembangunan Nasional: ABRI juga turut serta dalam pembangunan nasional, terutama dalam proyek-proyek pembangunan infrastruktur dan program-program sosial. Kehadirannya dapat mempercepat pembangunan di berbagai daerah, terutama yang sulit dijangkau oleh pemerintah.
- Pengabdian Masyarakat: Banyak anggota ABRI yang terlibat dalam kegiatan sosial dan kemanusiaan di masyarakat. Mereka membantu dalam penanggulangan bencana alam, pembangunan daerah terpencil, dan memberikan pelayanan kesehatan dan pendidikan kepada masyarakat.
- Pelatihan dan Disiplin: ABRI merupakan lembaga yang memberikan pelatihan dan pendidikan militer yang ketat. Hal ini menciptakan disiplin yang tinggi di antara anggotanya, yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari serta dalam membantu pembangunan nasional.
Aspek Negatif dari Dwi Fungsi ABRI:
- Intervensi Politik: Salah satu kritik utama terhadap dwi fungsi ABRI adalah campur tangan militer dalam urusan politik. Hal ini sering kali mengganggu proses demokratisasi dan perwakilan rakyat, serta membahayakan prinsip supremasi sipil.
- Pelanggaran HAM: Dalam sejarahnya, ABRI juga terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia, baik selama masa Orde Baru maupun setelah reformasi. Tindakan seperti penindasan terhadap gerakan separatis dan kekerasan terhadap aktivis politik sering kali terjadi.
- Korupsi dan Penyalahgunaan Kekuasaan: Beberapa anggota ABRI terlibat dalam praktik korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan, terutama dalam pengelolaan proyek-proyek pembangunan. Hal ini merugikan negara dan masyarakat serta merusak citra ABRI.
- Ketergantungan Politik: Dwi fungsi ABRI juga menciptakan ketergantungan politik terhadap pemerintah. Hal ini dapat mengaburkan garis antara tugas militer dan politik serta mengurangi independensi ABRI dalam menjalankan fungsi pertahanan negara.
Meskipun memiliki beberapa aspek positif, dwi fungsi ABRI juga memiliki banyak masalah dan kontroversi. Oleh karena itu, peran militer dalam politik haruslah dikaji ulang untuk memastikan bahwa ABRI dapat berfungsi secara efektif sebagai alat pertahanan negara tanpa mengorbankan prinsip demokrasi dan hak asasi manusia.