Di samudera yang luas dan tak berbatas, ikan-ikan berenang, menyusuri jalan hidup mereka. Mereka bergerak dalam keheningan biru, menari di antara riak gelombang dan kilau cahaya matahari yang menembus permukaan air. Namun, di antara jutaan ikan yang berenang, ada perbedaan mendalam yang menentukan siapa yang benar-benar hidup dan siapa yang sekadar terbawa arus.
Hanya ikan hidup yang berenang ke muara, melawan arus, menantang derasnya aliran yang tak henti-hentinya menguji keberanian. Mereka tahu ke mana harus menuju, mencari tempat yang menjanjikan harapan, tempat di mana air segar dan laut bertemu dalam harmoni. Setiap gerakan mereka adalah tarian tekad, setiap tarikan napas adalah perlawanan terhadap rintangan yang ada. Mereka adalah pejuang, meski mungil dan sering luput dari pandangan, mereka adalah pengukir takdir mereka sendiri.
Di sisi lain, ada ikan-ikan yang mati, terombang-ambing tanpa daya, terbawa arus tanpa tujuan. Mereka ikut hanyut, tidak lagi merasakan dinginnya air atau terik mentari. Tidak ada perlawanan, tidak ada tekad, hanya diam dan membiarkan arus menentukan jalan. Begitu mudah terombang-ambing, begitu rapuh di tengah samudera luas. Ikan mati tidak berdaya untuk memilih, tak mampu menentang, mereka hanya mengapung, mengikuti jalur yang ditentukan arus, bukan yang dipilih oleh hati.
Lalu, di manakah kita dalam cerita ini? Apakah kita memilih untuk menjadi ikan yang hidup, berani menantang arus demi mencapai muara impian kita? Ataukah kita hanya mengikuti, menyerah pada arus, membiarkan hidup mengalir tanpa tujuan yang jelas? Dalam setiap desah napas, kita dihadapkan pada pilihan: menjadi pemahat takdir atau sekadar saksi yang tenggelam dalam pasrah.
Hidup ini lebih dari sekadar mengalir bersama arus. Seperti ikan hidup, kita harus berani menghadapi rintangan, harus siap melawan ombak yang menggulung. Perjalanan mungkin melelahkan, penuh liku, dan tidak jarang kita terhempas ke karang-karang tajam. Namun, justru dalam luka dan letih itu, kita menemukan kekuatan untuk bangkit, untuk terus berenang dan tidak menyerah. Setiap tetes keringat, setiap goresan luka, adalah saksi dari perjuangan yang tak kenal lelah, sebuah bukti bahwa kita masih hidup, masih memiliki impian yang kita kejar.
Arus mungkin menawarkan kenyamanan semu, membisikkan rayuan untuk menyerah, untuk membiarkan diri terbawa tanpa perlawanan. Namun, di sanalah bahaya terbesar bersembunyi—ketika kita berhenti memilih, berhenti berjuang, kita menjadi sekadar ikan mati yang hilang arah. Hidup ini bukan tentang sekadar mengikuti, tetapi tentang keberanian untuk melawan, untuk menentukan arah meski arus kuat mencoba menggoyahkan.
Jadilah seperti ikan hidup yang berenang ke muara, tak gentar meski arus terus menghalang. Biarlah tekad menjadi layar, keberanian menjadi dayung, dan impian menjadi kompas yang memandu. Sebab hanya dengan demikian, kita bisa mencapai muara, tempat di mana air tawar dan asin bertemu, tempat di mana impian dan kenyataan bersatu dalam harmoni. Dalam hidup yang singkat ini, jangan hanya menjadi penumpang, tapi jadilah pengembara yang menentukan nasib, yang menulis kisahnya sendiri, melawan arus, hingga mencapai muara yang dicita.