Di sudut gang kecil di Ciracas, di sebuah rumah sederhana berdinding kayu, Bu Sari duduk termenung di depan kompor yang dingin. Ia memandang panci berisi nasi setengah matang, sementara kepulan asap yang biasanya menari di dapurnya kini menghilang. Gas melon 3 kg yang selalu ia beli dari warung Ujang di ujung gang, kini tak lagi tersedia.
“Bu, kita makan apa nanti?” tanya Dinda, anaknya yang baru pulang sekolah. Bocah itu meletakkan tas di kursi dan menatap ibunya dengan cemas.
Bu Sari tersenyum tipis, mencoba menenangkan putrinya. “Ibu cari gas dulu, ya.”
Ia mengambil helm dan keluar rumah, menyusuri gang sempit, mendatangi warung Ujang. Namun, harapannya pupus.
“Udah seminggu enggak ada, Bu,” kata Ujang sambil mengangkat kedua tangan. “Pemerintah larang pengecer jual gas. Sekarang harus beli di pangkalan.”
“Pangkalan? Di mana?”
Ujang menghela napas. “Yang terdekat di pasar, tapi sering habis.”
Bu Sari menelan ludah. Pasar jaraknya hampir tiga kilometer dari rumahnya. Ia tak punya kendaraan, dan ojek terlalu mahal untuk sekadar beli gas. Namun, tak ada pilihan lain.
Dengan uang pas-pasan di tangan, ia berjalan ke pasar, berharap masih ada gas tersisa. Setibanya di pangkalan, antrean sudah mengular. Matahari siang menusuk kulit, tapi Bu Sari tetap berdiri, berharap bisa membawa pulang satu tabung gas untuk memasak.
Satu jam berlalu. Dua jam.
“Gasnya habis, Bu!” seru petugas pangkalan.
Kaki Bu Sari lemas. Ia menatap ibu-ibu lain yang juga pulang dengan tangan kosong.
Di rumah, Dinda menunggu dengan perut kosong.
Malam itu, Bu Sari hanya bisa merebus air dan menyeduh mi instan dengan termos. Dinda makan dalam diam, sedangkan Bu Sari menatap dapurnya dengan nanar.
Di tempat lain, para pengambil keputusan sedang duduk di ruangan ber-AC, membahas kebijakan. Mereka berdiskusi tentang angka, regulasi, dan mekanisme distribusi, tanpa mendengar suara rakyat kecil yang antre di bawah terik, yang harus berjalan jauh untuk sekadar mendapatkan api di dapur mereka.
Apakah mereka tahu bagaimana rasanya dapur yang padam? Apakah mereka pernah merasakan anak yang tidur dengan perut keroncongan karena sebuah kebijakan yang dibuat tanpa melihat realitas di lapangan?
Dapur-dapur rakyat tidak butuh teori, mereka butuh solusi.