Di tanah air yang luas membentang, di bawah langit yang terik dan angin yang membawa debu sejarah, berdiri para penguasa dengan lidah berapi dan langkah penuh keangkuhan. Mereka, para menteri dan pemegang kuasa, bersuara lantang ketika rakyat menagih teladan.
Berlututlah Bahlil, sang menteri yang dulu mengendalikan roda angkot, kini duduk di singgasana kekuasaan. Ketika suara rakyat menggema, meminta mereka turun ke jalan, merasakan derita yang sama, Bahlil menyalak,
“Jangan ajari aku naik kendaraan umum! Aku dulu supir angkot!”
Oh, wahai Menteri, masa lalu itu telah berlalu, tak lagi jadi jubah kebanggaan. Yang dituntut bukan kenanganmu, melainkan langkahmu kini! Negeri ini terseok dalam kekeringan kas, uang rakyat terhisap oleh tumpukan pejabat, wamen, dan ahli yang menyesaki istana. Namun, kau tetap bertahan dalam istana emas, tak sudi menapaki jalanan rakyat jelata.
Lalu muncullah Dadan, sang Kepala Badan Gizi Negeri, dengan titah baru,
“Mari, kita jadikan ulat dan belalang sebagai hidangan bangsa!”
Tiba-tiba Budiman, yang dulu pejuang gagasan, mengangkat sendoknya tinggi,
“Dulu, di masa kecilku, entung jati adalah lauk kebanggaanku!”
Oh, Budiman, betapa luhurnya kata-katamu, namun betapa getir maknanya! Karena di tanah para petani, ulat dan belalang bukanlah hidangan pilihan, melainkan warisan keterpaksaan. Warisan dari penjajahan tanah mereka, dari kayu jati yang tak pernah menjadi milik mereka, dari hutan yang diambil asing, lalu dikunci oleh negara sendiri. Bagi mereka, ulat adalah sisa yang tersisa, belalang adalah kepingan harapan yang terbang dari ladang kering mereka.
Wahai para penguasa, ketahuilah! Tak ada rakyat yang dengan sukacita ingin kembali pada kepapaan. Kami tak ingin menyantap kemiskinan sebagai nostalgia. Aku sendiri, di tanah Batak yang keras, pernah mencari ulat di batang enau busuk, menangkap belalang dan capung untuk sekadar menahan lapar. Itu bukan kebanggaan, itu bukan kearifan. Itu adalah perlawanan terhadap kemiskinan yang terus diwariskan dari generasi ke generasi.
Jangan kau bungkus keterpaksaan kami dengan kata-kata manis! Jangan kau namai kemiskinan sebagai “kearifan lokal bidang pangan”! Karena sementara kami dipaksa kembali ke masa kelaparan, kalian, para pejabat, bersulang di meja makan yang penuh hidangan impor.
Wahai penguasa, bukalah matamu, karena rakyat tak ingin kembali ke zaman di mana mereka harus mencari makanan di batang kayu busuk dan tanah gersang. Kami ingin keadilan, bukan nostalgia kemiskinan!**