Di sebuah alam paralel, hidup seekor makhluk aneh yang dianggap sebagai penyebab segala kekacauan dunia. Dialah Makhluk Tak Terganggu, sosok yang konon memiliki kekuatan luar biasa: kebal terhadap tuduhan, sindiran, bahkan hujatan paling tajam sekalipun. Dia bukan hanya makhluk biasa, tetapi makhluk yang diamnya lebih nyaring dari pekikan badai.
Masyarakat di alam itu sering menuding Makhluk Tak Terganggu sebagai biang keladi kehancuran. “Dia penipu!” seru mereka. Namun makhluk itu tetap diam. “Dia tukang bohong, plunga-plongo, tak becus bekerja!” tuding yang lain. Tetap saja, tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibirnya. Bahkan ketika seseorang dengan semangat menyatakan bahwa ijazahnya palsu, Makhluk Tak Terganggu hanya menggaruk kepala, seolah dunia ini hanya sebatas halaman buku komik yang membosankan.
Seni Membisu di Tengah Kegaduhan
Para tetua di negeri itu pernah mencoba mencari tahu apa yang membuat Makhluk Tak Terganggu begitu tenang. “Barangkali dia tuli,” ujar salah satu tetua. Namun mereka segera sadar bahwa makhluk itu mendengar dengan sangat baik. Dia bahkan bisa mengangguk pelan ketika mendengar hujatan baru, seperti seorang penonton bioskop yang menganggumi plot twist dalam film.
Ketika dia dituduh nepotisme, memberikan kekuasaan kepada keluarga dekat, Makhluk Tak Terganggu hanya tersenyum tipis, seolah berkata, “Apakah ini hal baru? Bukankah ini tradisi?” Ketika rakyat berteriak tentang pembangunan yang mengorbankan pendidikan, dia hanya memandang jauh ke ufuk, mungkin berpikir bahwa gedung-gedung tinggi akan menjadi pengganti buku pelajaran.
Mengapa Dia Diam?
Tentu saja, diamnya Makhluk Tak Terganggu bukan tanpa alasan. Mungkin dia memahami seni bertahan hidup di dunia yang penuh kebisingan. Mungkin juga dia percaya bahwa dengan tidak membalas, dia bisa menjadi semacam legenda: tokoh yang kebal, tak terjangkau oleh kenyataan. Atau mungkin dia sekadar malas.
Di dunia ini, banyak orang ingin berbicara. Banyak pula yang ingin didengar. Namun, ada yang memilih untuk diam, seperti Makhluk Tak Terganggu. Dalam diamnya, dia membangun benteng yang tak tertembus. Sebuah benteng yang, ironisnya, justru dibangun dari tuduhan-tuduhan yang dilontarkan kepadanya.
Pelajaran dari Makhluk Tak Terganggu
Mungkin kita bisa belajar dari makhluk ini. Dalam dunia yang dipenuhi teriakan dan caci maki, diam bisa menjadi perlawanan paling mematikan. Namun, jangan lupa: ada perbedaan antara diam yang bermakna dan diam yang hampa.
Makhluk Tak Terganggu memilih diam, bukan karena dia tak punya jawaban, tetapi mungkin karena dia tahu bahwa jawaban tak akan mengubah apa pun. Apakah itu kehebatan, atau sekadar keputusasaan yang disulap menjadi kebijaksanaan? Kita hanya bisa menebak-nebak.
Namun satu hal pasti: dalam diamnya, Makhluk Tak Terganggu menjadi cermin. Cermin bagi para penuduh, cermin bagi mereka yang berharap, dan cermin bagi kita semua yang bertanya-tanya—apakah ini cara terbaik untuk menghadapi hidup? Ataukah ini hanya jalan pintas bagi mereka yang tak peduli lagi?
Dan di sana, di ufuk yang jauh, Makhluk Tak Terganggu tetap diam. Mungkin dia sedang menunggu tuduhan berikutnya. Atau mungkin, dia hanya mengamati bagaimana dunia terus berputar tanpa dia perlu bergerak sedikit pun.