Dalam sunyi malam yang berlumur kebingungan, seorang filsuf agung pernah berbisik kepada angin: “Knowledge is of no value unless you put it into practice.” Sebuah ungkapan yang mendengung seperti mantra, merangkum paradoks hidup yang sering kali terabaikan: betapa sia-sianya mengetahui tanpa bertindak, memetik kebenaran tanpa menanam benih perubahan.
Ilmu, dalam hakikatnya, adalah seperti matahari yang memancar di cakrawala. Ia memancarkan cahaya ke segala penjuru, namun ia membutuhkan tanah subur untuk melahirkan kehidupan. Tanpa aksi—tanpa praxis—ia hanya akan menjadi lentera dalam ruang hampa.
Dalam bahasa semiotika, ilmu adalah simbol; sebuah entitas yang penuh makna namun kehilangan signifikansinya jika ia tak dirangkai dengan realitas. Ferdinand de Saussure menyebut hubungan antara signifier dan signified—antara simbol dan maknanya—sebagai sesuatu yang arbitrer. Maka ilmu, tanpa tindakan, hanyalah tanda kosong. Sebuah label tanpa substansi.
Ilmu Sebagai Energi yang Diam
Bayangkan kita menyimpan “energi intelektual” dalam ruang tertutup. Ia menderu dalam diam, penuh potensi yang terkungkung. Potential energy, kata para fisikawan, tidak menjadi kinetic energy sampai ada gaya yang membebaskannya. Maka, apa gunanya kita memahami hukum gravitasi, jika kita enggan menjatuhkan apel? Apa artinya menguasai falsafah moral, jika kita tak pernah mempraktikkannya dalam perilaku?
Seperti keris pusaka tanpa ritus, ilmu menjadi statis. Kekuatan sejatinya takkan pernah hadir tanpa interaksi dengan dunia nyata. Dalam istilah filsafat Yunani, arete—kebajikan tertinggi—tidak dicapai hanya dengan theoria (pemahaman), tetapi dengan praxis.
Aksi: Manifestasi Keabadian
Ketika ilmu diterjemahkan menjadi aksi, ia menemukan dirinya dalam keabadian. Seperti tinta yang menorehkan kata, seperti pelukis yang menggoreskan kuas, ilmu menemukan bentuknya dalam tindakan. Tindakan adalah estetika ilmu; ia melahirkan harmoni antara yang idealis dan yang empiris, antara pemikiran dan realisasi.
Dalam konteks dunia modern, istilah “empowerment” sering digaungkan. Namun, maknanya hampa tanpa aplikasi nyata. To empower knowledge berarti menggerakkan pikiran menjadi tindakan; menjadikan abstraksi sebagai realitas yang menggema dalam kehidupan.
Menjadi Alkemis Kehidupan
Kita adalah alkemis, sang pengubah makna menjadi materi. Dalam tiap aksi, kita mengubah ilmu menjadi emas kehidupan. Kita membuktikan bahwa gagasan tidak hanya berdengung dalam kepala, tetapi merasuk ke dalam denyut nadi dan menjadi irama kehidupan.
Sebagai penutup, mari kita resapi kata-kata Goethe: “Knowing is not enough; we must apply. Willing is not enough; we must do.” Maka, jadilah penjaga api ilmu yang terus menyala. Jangan biarkan ia redup hanya sebagai pijar abstrak. Sebab, tanpa aksi, ilmu hanyalah bayangan dalam ruang kosong: berwujud, namun tak bermakna.
Post scriptum, mari menjadi semesta kecil yang tak hanya berpikir, tetapi juga bertindak—sebab di situlah letak keabadian ilmu.