Kekhawatiran, sering kali menjelma menjadi bayang-bayang yang menggelayuti pikiran kita, seolah-olah menuntut untuk dibayar. Namun, apa sebenarnya yang kita bayar? Mengapa kita membebani diri dengan beban yang seharusnya tidak ada? Dalam istilah asing, kita bisa menyebutnya sebagai *anxiety*, sebuah kondisi yang menjadi bagian dari eksistensi manusia, namun sering kali menjauhkan kita dari kebahagiaan yang sejati.
Dalam perspektif agama, kita diajarkan untuk berserah diri kepada Allah. Firman-Nya dalam Al-Qur’an, **”Dan janganlah kamu merasa lemah dan janganlah kamu bersedih, sebab kamu yang paling tinggi derajatnya, jika kamu orang-orang yang beriman”** (QS. Ali Imran: 139). Ayat ini mengingatkan kita bahwa kekhawatiran tidak seharusnya menguasai hidup kita, melainkan iman yang menjadi penopang di tengah gelombang ketidakpastian.
Kekhawatiran ibarat kita membayar utang yang tak pernah kita pinjam. Seperti kata pepatah, *Worrying is like paying a debt you don’t owe*. Dalam dunia nyata, membayar utang yang tidak ada sama sekali merupakan tindakan yang tidak logis. Begitu pula, kekhawatiran yang berlarut-larut justru menjadi penghalang bagi kita untuk bergerak maju, menghambat langkah kita dalam menjalani kehidupan.
Dalam filosofi Stoikisme, kita diajarkan untuk fokus pada hal-hal yang dapat kita kendalikan dan melepaskan yang tidak dapat kita ubah. Seneca, seorang filsuf Stoik, mengatakan, **”Kekhawatiran adalah penyebab utama dari semua kesedihan.”** Pernyataan ini sejalan dengan ajaran Islam yang mendorong kita untuk memiliki *tawakkul*—ketergantungan yang penuh pada Allah, setelah melakukan usaha yang maksimal. Hal ini terungkap dalam sabda Nabi Muhammad SAW, **”Berdoalah kepada Allah dengan keyakinan bahwa doa tersebut akan dikabulkan.”** (HR. Tirmidzi).
Kekhawatiran sering kali timbul dari ketidakpastian akan masa depan, membuat kita terjebak dalam pikiran yang gelisah. Kita mungkin memikirkan berbagai skenario buruk yang bisa terjadi, padahal Allah sudah menjanjikan bahwa Dia akan memberikan yang terbaik untuk hamba-Nya. Dalam surat Al-Baqarah ayat 286, Allah berfirman, **”Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”** Ini adalah pengingat bahwa setiap tantangan yang kita hadapi memiliki ukuran yang sesuai dengan kapasitas kita.
Dengan memahami bahwa kekhawatiran adalah suatu bentuk pengeluaran untuk sesuatu yang tidak ada, kita bisa berusaha untuk mengubah cara pandang kita. Kita bisa memilih untuk tidak membayar utang tersebut. Sebaliknya, mari kita isi pikiran kita dengan harapan dan keyakinan. Dalam bahasa Inggris, istilah *mindfulness* bisa diterapkan di sini, yaitu kesadaran penuh terhadap saat ini, tanpa terjebak dalam kekhawatiran tentang masa lalu atau masa depan.
Dengan demikian, marilah kita menjadikan iman sebagai pengganti kekhawatiran. Menghadapi setiap masalah dengan sikap positif dan penuh rasa syukur. Firman Allah dalam Al-Baqarah ayat 152, **”Ingatlah, dengan mengingat Allah, hati menjadi tenang.”** Marilah kita jalani hidup ini dengan penuh ketenangan, membebaskan diri dari belenggu kekhawatiran, dan membiarkan keyakinan yang kuat pada Allah menjadi sandaran kita. Dengan cara ini, kita tidak hanya menghindari pembayaran utang yang tidak pernah ada, tetapi juga meraih kedamaian dan kebahagiaan yang sejati.